Cerpen Santri : Penjara Suci
Sebuah Memoar
Penuh Air Mata
Aku tumbuh di desa yang jauh dari hingar bingar
perkotaan. Orang-orang desaku bisa dibilang masih termasuk awam. Agamanya sih
islam semua, tapi yang sholat masih sangat jarang. Main judi, mabuk-mabukkan
sudah menjadi hal yang lumrah di sini. Kalau kalian bertanya pada mereka,
bagaimana hukum mabuk-mabukkan dan berjudi? Aku yakin mereka akan menjawab
haram. Terus
kenapa mereka tetap saja melakukannya? Entahlah. Silahkan tanya
langsung ke orangnya.
Meski aku tumbuh di daerah seperti itu, entah kenapa
tiba-tiba dalam pikiranku terbesit sebuah keinginan untuk mondok. Padahal ayah
ataupun ibu tidak pernah mondok. Kakek-kakekku-pun tak ada. Tapi keinginan itu
mulai kurasakan sejak mendengar seorang gadis cantik membaca al-Quran dengan
lantunan lagu yang sangat indah di rumah Budeku 1 bulan yang lalu. Padahal
sebenarnya aku sendiri belum tahu mondok itu apa?
“Mondok?!” Ibuku sedikit kaget setelah kujelaskan
keinginanku itu.
“Iya, Bu… aku pengen mondok”
“Em… gimana, ya?” Jawab ibu menggantung.
“Ayolah, Bu… Ana pengen pinter baca al-Quran kayak
mbak Nisa keponakannya Bude itu…” Rengekku.
“Ya sudah. Nanti ibu bilang sama ayah. Kalau ayah
setuju, ibu juga setuju”
(1 bulan kemudian)
Ramai sekali. Ada mbak-mbak berjilbab yang
berseliweran di sepanjang jalan menuju pesantren. Ada yang berombongan
juga, nampaknya sama seperti kami. Baru berangkat mau mondok. Ayah telah
mengizinkanku. Dan hari ini adalah hari pertamaku. Dengan diantar ayah, ibu dan
mbak Nisa` keponakannya bude. Setelah sowan kepada pengasuh pesantren
dan memasrahkanku kepada pengurus mereka langsung berpamitan pulang.
“Ana… kenalin. Ini mbak Zahra. Dia yang akan mengurus
kamu” Mbak Nisa memperkenalkan seorang gadis yang berdiri di sampingnya.
“Kamu di sini yang pinter ya, Na. Jangan nakal” Ibu
membenarkan posisi jilbabku, karena aku memang belum terbiasa memakainya.
Perlahan air mataku jatuh. Kupeluk erat ayah dan ibu. Rasanya begitu berat
melepaskan mereka. Aku makin tak bisa menahan air mata ketika mereka mulai
melangkahkan kaki meninggalkanku. Memang sangat berat. Semakin kusadari
ternyata aku memang belum benar-benar siap untuk hidup sendirian tanpa mereka,
meski hanya sebentar.
Pagi ini terlihat begitu cerah. Mendung tak lagi
menutupi indahnya awan. Mataharipun nampak tersenyum riang pada insan di bumi.
Bersamaan itu terdengar bunyi suara nyaring. Entah apa itu aku tak tahu?
“Bunyi apaan sih itu?”
Tak selang lama terdengar seruan “Mbak-mbak roan…”
Roan? Satu kata asing yang baru pertama kali ini aku dengar. Semua santri
keluar dari kamar mereka masing-masing. Entah untuk apa? Aku ikut saja.
“Oowh. Jadi roan itu maksudnya keluar dari kamar to…”
Gumamku dalam hati sambil manggut-manggut.
“Ana. Roan yuk sama mbak-mbak lainnya…”
“Lha ini aku sudah roan?”
“Roan kok masih di sini?”
“Lha terus di mana? Bukannya roan itu maksudnya keluar
dari kamar?”
Mbak Nisa tersenyum mendengar jawabanku ini “Ana… Ana.
Roan itu maksudnya piket, bersih-bersih”
………………………
1 minggu sudah aku di pondok ini, tapi bagaikan sudah
1 bulan. Rasanya begitu berat melewati hari demi hari di tempat ini.
“Ayah ibu… aku pengen pulang… Aku kangen sama kalian…
Aku nggak betah di sini… Di sini nggak enak”
Pagi ini seperti biasa aku menyendiri di depan gedung
diniyah. Mbk Zahra menghampiriku. “Hayoo lagi ngelamunin apa?” Godanya.
Aku hanya diam.
“Kok tetep diam?” Aku tetap diam. Selang sebentar
tiba-tiba suara nyaring mikrofon.
“Panggilan untuk saudari Ana Niswatin diharapkan
segera ke ruang panggilan. Sekarang”
“Ada apa? Apa yang sudah kulakukan? Kenapa namaku
tiba-tiba dipanggil?” Tanyaku pada diriku sendiri.
“Kamu disambang, Na” Mbak Zahra memberitahuku.
Tapi aku tak segera merespon. Masih ada segudang pertanyaan di dalam pikiran.
“Ana. Kamu disambang!” Sekali lagi mbak Zahra memanggil namaku.
“Disambang itu apa sih, mbak?”
Mbak Zahra tersenyum “Disambang… berarti orang
tua kamu ke sini..”
“Yang bener, mbak?” Tanyaku girang. Akupun segera
berlari ke ruang panggilan tanpa menunggu jawaban mbak Zahra lagi. Segera
kupeluk ayah dan ibu. Dua orang yang sangat kurindukan selama seminggu ini.
“Yah. Ana pengen pulang. Ana nggak betah di sini. Ana
pengen boyong…”
“Tidak! Kamu tidak boleh boyong!” Jawab ayahku tegas.
“Tapi…” Kalimatku menggantung.
“Ana… dengarkan ibu. Ayah dan Ibu sadar kalau Ayah dan
Ibu sudah bodoh. Ibu tidak ingin kamu juga seperti kami”
Lalu mereka berdua membisikkan sesuatu pada mbak
Zahra. Entah tentang apa aku tidak tahu?
“Ana. Ke kamar, yuk” Ajak mbah Zahra.
“Nggak! Ana mau ikut pulang ya Bu, ya… Ana ikut
pulang…” Rengekku di sela tangisku.
“Maka dari itu… Kamu kan harus mengemasi barang-barang
kamu to, Na…” Kata mbak Zahra kemudian.
“Yang bener, Bu. Ana boleh pulang?”
Tiba-tiba saja ada sedikit rasa tenang di hatiku.
Segera aku berjalan cepat menuju kamar. Kulihat wajah Mbak Zahra dan seluruh
teman kamarku. Aku merasa ada yang aneh. Mereka menyembunyikan sesuatu dariku.
Apa mereka membohongiku?! Ya. Pasti mereka telah berbohong padaku. Kuputuskan
untuk kembali ke ruang panggilan. Aku langsung berlari. Mbak Zahra mengejarku
di belakang sambil terus memanggil-manggil namaku. Biarkan saja.
“Ayah?… Ibu?…” Aku begitu sedih bercampur bingung saat
mendapati mereka berdua sudah tak ada di sana. Mereka telah pulang. Tapi aku
belum mau putus asa dulu. Segera aku berlari ke gerbang depan. Masih sempat.
Kulihat ayah dan ibu sudah mulai mengendarai motornya meninggalkan pondok.
Kukejar mereka.
“Ayah!!! Ibu!!! Ana ikut pulang!!! Jangan tinggalin
Ana di sini!!!” Teriakku. Namun mereka sengaja tak mau menoleh. Sedang di
belakang Mbak Zahra dan mbak Raya roisah pondok putri masih mengejarku sambil
terus berteriak memanggil-mangil namaku. Tapi aku belum mau berhenti. Aku masih
berharap ayah dan ibu mau menghentikan laju motor mereka. Tapi yang kulihat,
ayah justru menambah kecepatannya.
“Ayah… Ibu…”
Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dari belakang.
“Lepasin!! Lepasin aku!!! Ayah… Ibu…” Tapi tanganku tak kunjung dilepasnya.
Akhirnya aku membalikkan badanku. “Ustadz Ishak?!”
Mbak Raya dan mbak Zahra menghampiriku. “Ana. Kembali
ke pondok, yuk” Ajak mbak Zahra.
“Nggak! Pokoknya aku mau pulang. Lepasin aku!”
“Dek Ana. Kembali ke pondok, yuk. Itu semua
teman-teman sudah menunggumu” Mbak Raya menggandeng tanganku.
………………………….
Walaupun sudah 1 setengah bulan tapi rasa ingin pulang
tetap tak bisa hilang dari bayanganku.
“Ana. Kamu mau kemana?” Tanya Meda ketika melihatku
keluar dari kelas saat masih jam diniyah.
“Ke kamar mandi” Jawabku ringan.
Kupercepat langkahku saat aku mendengar Meda memanggil
mbak Zahra dan mbak Raya. “Ana… tunggu! Mau kemana kamu?” Teriak mbak Zahra
dari kejauhan saat melihatku telah keluar dari gerbang pondok.
Aku segera berlari. Mbak Zahra dan mbak Raya berusaha
mengejarku. Aku terus berlari… namun tiba-tiba kakiku terjerat sarung yang
kukenakan sehingga aku kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh. Lututku
terluka sampai berdarah-darah, aku kesulitan untuk kembali berjalan. Rasanya
perih dan sakit sekali.
“Dek Ana… dek Ana mau kemana?” Tanya mbak Raya lembut
setelah berhasil menangkapku.
“Lepasin! Aku mau pulang!!” Aku masih bersikeras untuk
kabur.
“Ana… dengerin mbak Zahra! Kamu tu sudah besar… jangan
kayak anak kecil lagi!” Bentak mbak Zahra.
Seketika air mataku langsung jatuh. Baru sekali ini
mbak Zahra membentakku. Pasti karena ia sangat kecewa dengan apa yang sudah ku
lakukan.
………………………………..
Sepulang sekolah kurebahkan tubuhku di kamar yang
tidak begitu besar. Kupejamkan mataku hanya untuk mengusir kepenatan. Teriakan
santri-santri lain masih terdengar jelas di telingaku. Namun suara gaduh itu
perlahan hilang untu kemudian aku sudah terjerat dalam mimpi.
“Kamu disambang, Na!” Ica membangunkanku. Kubiarkan
saja. Paling-paling mbak Nisa. Aku kembali tidur.
“Bangun dong Na. Kasihan tu mbak Nisa. Sudah jauh-jauh
kesini masak tidak kamu temui?” Ica masih belum menyerah membangunkanku.
“Iya-iya…” Dengan sangat malas ku beranjak menemui
orang yang dulu menjadi awal sebab aku ingin mondok itu.
Mbak Nisa tersenyum ramah setelah ku cium punggung
tangannya.
“Kenapa sih mbak kok ayah dan ibu tidak pernah ke
sini? Sudah satu setengah bulan. Pasti yang datang mbak Nisa terus… ” Keluhku .
“Mereka tidak akan kesini selama kamu masih pengen
boyong” Jawab mbak Nisa. Aku diam saja. “Mbak sudah tahu kejadian seminggu yang
lalu”
“Pasti dikasih tahu mbak Raya. Iya kan?” Dasar Roisah
tukang ngadu!
“Sekarang mbak mau Tanya. Kenapa kemarin kamu berusaha
kabur lagi?”
“Pengen boyong”
“Boyong? Apa kamu sudah lupa tujuan awalmu dari rumah?
Terus kalau kamu boyong apa kamu tidak malu dengan teman-temanmu?”
Aku terdiam. Mbak Nisa melanjutkan pertanyaannya.”Seandainya
orang tua kamu tahu tentang hal ini apa kamu tidak akan dimarahi?”
Aku semakin menunduk. “Dimarahin, Mbak”
“Ya sudah. Kalau begitu belajar yang rajin. Jangn
nakal dan jangan lagi mencoba untuk kabur…”
Aku menganggukkan kepala. “Iya, Mbak. Tolong ayah sama
ibu suruh ke sini ya. Aku janji nggak akan ikut pulang…”
“Nah… gitu dong. Iya nanti akan mbak sampaikan. Ya
sudah kalau begitu mbak Nisa pulang dulu ya…”
……………………………..
Langit pagi ini nampak begitu cerah. Senyum matahari
telah mulai menerobos asrama pesantrenku melalui celah-celah jendela kaca.
Suasana sangat ramai karena para santri sama hilir mudik kesana kemari
mengikuti kegiatan roan rutinan hari Jumat. Namun seketika semua menjadi hening
saat Terdengar suara menggema dari mikrofon kantor.
“Panggilan untuk saudari Ana Niswatin. Diharapkan
segera ke ruang panggilan”
“Huft kirain aku…” Gumam beberapa santriyat lantaran
kecewa bukan dia yang dipanggil.
“Hey. Kamu nggak dengar Na nama kamu dipanggil?” Ica
menegurku.
“Terus?? Paling-paling mbak Nisa…”
“Sekali lagi. Panggilan untuk saudari Ana Niswatin.
Diharapkan untuk segera ke ruang panggilan. SEKARANG!” Mbak pengurus
mengulanginya lagi karena aku tak kunjung datang. Malas.
“Na! Kamu disambang tuch!” Meda ikut menegurku juga.
“Dik Ana… dik Ana…” Seru mbak Aya Shofiya mbak
keamanan dari kejauhan. “Kamu disambang orang tua kamudik.”
Seketika wajahku berubah sumringah. “Yang bener,
mbak?”
“Ciyee… yang disambang orang tuanya… seneng banget…”
“Jangan lupa traktirannya, Na”
Aku hanya mengacungkan jempol kananku, lalu beranjak
dari duduk dan segera berjalan cepat menuju ruang panggilan. Benar ayah dan ibu
datang. Aku segera menghambur untuk memeluk mereka.
“Ana kangen banget sama ayah dan ibu…” Kataku manja
sambil melepas pelukanku. “Ana pengen pulang…”
“Ayah sudah tahu” Ayah langsung memotong. “Kamu sudah
besar, Na. Ayah sangat yakin kamu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Jadi sekarang terserah kamu saja… Mau boyong atau akan tetap di
sini”
Aku terdiam. Teringat olehku kata-kata mbak Nisa
kemarin. Ku pandangi wajah ayah dan ibu. SAngat jelas kulihat ada gurat
kesedihan dan kekecewaan di wajah mereka. Aku nggak ingin mereka kecewa dan
sedih. Tapi aku benar-benar sudah tak betah lagi di sini…
“Yah…” Suaraku menjadi parau. Aku sudah tak bisa
menahannya lagi. Perlahan beberapa bening air mata mengalir membasahi pipiku.
“Sebenarnya aku pengen boyong, Yah…” Gumamku dalam hati.
“Bu… Ana…” Kalimatku menggantung.
“Semua keputusan ada di tangan kamu, Na” Tangan ibu
berusaha menyeka air mata yang terus mengalir kepipiku.
Beberapa saat suasana menjadi hening selain suaraku
menahan tangis.
“Ya sudah.. sekarang kemasi barang-barang kamu. Ayah
dan ibu akan sowan” Akhirnya ayah mengambil keputusan. Kemudian beliau
beranjak dari duduknya.
“Ayah… tunggu!” Kutarik tangan beliau. Lalu kupeluk
erat keduanya. “Maafin Ana… Ana sudah membuat ayah dan ibu sedih. Ana janji Ana
nggak akan boyong sebelum Ana pinter… Ana janji Ana akan tetap di sini…”
“Alhamdulillah”
Lama kami berpelukan. Terimakasih Yah, Bu….