Kemusyrikan Israil - Israil Dalam Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an, tema Israil salah satunya dijelaskan melalui topik Kemusyrikan Israil, yang tercermin dari ayat-ayat berikut ini lengkap dengan terjemah dan tafsir Jalalain serta Tahlili Kemenag.
QS. Al-A'raf (7:138)
وَجَاوَزْنَا بِبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ الْبَحْرَ فَاَتَوْا عَلٰى قَوْمٍ يَّعْكُفُوْنَ عَلٰٓى اَصْنَامٍ لَّهُمْ ۚقَالُوْا يٰمُوْسَى اجْعَلْ لَّنَآ اِلٰهًا كَمَا لَهُمْ اٰلِهَةٌ ۗقَالَ اِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ
138. Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)".
Tafsir Jalalain
(Dan Kami seberangkan) Kami lewatkan (Bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai) mereka lewat (pada suatu kaum yang tetap menyembah) dengan dibaca damah atau kasrah huruf kaf-nya (berhala mereka) mereka masih tetap menyembah berhala-berhala itu (Bani Israel berkata, "Hai Musa! Buatlah untuk kami sebuah tuhan) berhala yang akan kami sembah (sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan, berhala." Musa menjawab, "Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh.") karena kamu membalas karunia Allah atas kamu dengan apa yang tadi kamu katakan.
Tafsir Tahlili Kemenag
Peristiwa tenggelamnya Fir‘aun dan tentaranya ini, diterangkan pula oleh ayat-ayat yang lain. Allah berfirman:
وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى ٧٧ فَاَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُوْدِهٖ فَغَشِيَهُمْ مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ ۗ ٧٨
“Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam).” Kemudian Fir‘aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak laut yang menenggelamkan mereka.” (Tāhā20: 77-78).
Kisah tenggelamnya Fir‘aun dan bala tentaranya di laut Qulzum disebutkan pula dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran XIV: 15-31.
Setelah Musa dan Bani Israil selamat sampai ke seberang laut Qulzum, yaitu daerah sekitar tanah Arab yang terletak di ujung benua Asia di bagian Barat Daya, mereka pun meneruskan perjalanannya. Maka sampailah mereka ke suatu negeri yang penduduknya taat menyembah berhala. Melihat keadaan yang demikian, ingatan mereka kembali kepada adat kebiasaan dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yang biasa mereka kerjakan bersama-sama dengan Fir‘aun, seperti menyembah sembahan selain Allah, baik yang berupa binatang, patung, batu, dan sebagainya. Karena itu dengan spontan mereka meminta kepada Nabi Musa, “Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah berhala, sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan ........”.
Dari permintaan Bani Israil kepada Musa a.s, ini dipahami bahwa sekalipun Musa a.s, telah menyampaikan risalahnya dengan sebaik mungkin kepada Bani Israil, namun Bani Israil belum memahami dan menghayati betul agama tauhid yang disampaikan Musa. Adat istiadat dan kepercayaan nenek-moyang mereka, seperti menyembah berhala, masih sangat besar pengaruhnya pada diri mereka, sehingga kepercayaan tauhid yang baru ditanamkan Musa dengan mudah dapat digoyahkan.
Telah diketahui bahwa orang-orang Bani Israil di zaman Fir‘aun termasuk golongan yang rendah dan kurang pengetahuannya. Hampir tidak ada cerdik-cendekiawan berasal dari mereka, semua cendekiawan berasal dari penduduk Mesir asli, turunan bangsawan. Kebanyakan Bani Israil pada waktu itu hidup sebagai rakyat biasa, pekerja-pekerja kasar, bahkan banyak hidup sebagai budak yang dipaksa membangun piramida dan kuburan raja-raja.
Karena keadaan mereka yang demikian, timbul sifat apatis di antara mereka, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari perbudakan Fir‘aun, tidak ada keinginan yang kuat untuk merdeka. Tidak ada sikap yang tegas dan cita-cita yang kuat itu pada diri mereka, hal ini terlihat pada reaksi, tindak-tanduk dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa kepada Musa, bahkan menyatakan lebih suka hidup diperbudak dan penindasan Fir‘aun.
Sikap Bani Israil terhadap ajakan Musa a.s, untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka tidak berbeda dengan sikap mereka terhadap ajakan Musa a.s, untuk mengikuti agama yang benar. Sekalipun Nabi Musa telah menerangkan dengan baik dan jelas agama tersebut, sehingga mereka memahami dan mengikutinya, namun begitu mereka melihat patung-patung, orang yang menyembah berhala, orang yang memuja dewa-dewa dan segala macam bentuk kemusyrikan, ingatan mereka kembali kepada kepercayaan mereka terdahulu, karena itu mereka dengan spontan meminta kepada Musa, agar dibuatkan berhala untuk sembahan mereka. Mereka lebih merasa mantap menyembah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, dihiasi dan sebagainya daripada menyembah sesuatu yang gaib, tidak nampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan tangan.
Berbeda dengan pesihir yang beriman kepada Musa, setelah kepandaian ilmu sihirnya dikalahkan oleh mukjizat Musa. Mereka termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik-cendekiawan pada waktu itu. Karena itu mereka bisa membedakan sesuatu yang salah dengan yang benar dengan pengetahuan mereka itu, sehingga dapat mengetahui mana tanda-tanda kekuasaan Allah dan mana yang bukan, mana yang dapat dicapai oleh panca indera dan mana yang tak dapat dicapai, dan sebagainya. Karena itu setelah mereka beriman kepada Allah dan Nabi Musa, mereka pun beriman dengan sepenuh hati, tidak dapat digoyahkan oleh keadaan apa pun dan oleh ancaman apa pun, termasuk ancaman Fir‘aun kepada mereka. Iman mereka telah mempunyai landasan yang kokoh, sehingga merupakan keyakinan yang kuat sebagai hasil dari pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan apa yang ada pada mereka.
Bani Israil seperti yang diterangkan di atas adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan menyembah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah tanpa mengambil perantara dengan sesuatu pun, seperti patung-patung, bangunan-bangunan, kuburan-kuburan, atau benda-benda yang lain yang mereka jadikan sebagai perantara dalam menyembah Allah. Mereka harus percaya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa.
Jenis iman seperti iman Bani Israil yang disebabkan kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek-moyang itu, terdapat juga pada manusia umumnya, dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah, sejak masa Nabi Muhammad sampai kepada zaman mutakhir ini, sebagaimana yang diisyaratkan hadis Nabi saw:
عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اَللَّيْثِيْ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ حُنَيْنٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ اجْعَلْ لَنَا هٰذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ: ḍاَللّٰهُ أَكْبَرُ» هٰذَا كَمَا قَالَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى ḍاِجْعَلْ لَنَا إِلٰهًا كَمَا لَهُمْ ا اٰلِهَةٌ» إِنَّكُمْ تَرْكَبُوْنَ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ. )رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيْ(
Ahmad dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Abi Waqid Al-Laiṡy, ia berkata: “Kami keluar dari Medinah bersama Rasulullah saw menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon sidrah, aku berkata: “Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon “Żātu anwāṭ” (pohon yang bisa menjadi gantungan) sebagaimana orang kafir mempunyai “Żātu anwāṭ”. Rasulullah menjawab: “(Allah Maha Besar). Permintaanmu ini adalah seperti permintaan Bani Israil kepada Musa: (Jadikanlah bagi kami sebuah sembahan, sebagaimana mereka mempunyai sembahan), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu.” (Riwayat Ahmad dan an-Nasā’i).
Kenyataan adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadis di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum Muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum Muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah. Banyak juga di antara kaum Muslimin yang menggunakan perantara waṣilah dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. Kepercayaan seperti ini bertentangan dengan ayat:
وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
“... dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qāf50:16)
Dan pengakuan Ibrahim as yang tersebut dalam firman-Nya:
اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ ٧٩
“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musrik.” (al-An’ām6: 79).
Bahkan Allah menegaskan dalam firman-Nya lagi:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ١٨٦
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah2: 186).
Orang yang menyembah suatu sembahan di samping Allah adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, seperti firman Allah:
وَمَنْ يَّرْغَبُ عَنْ مِّلَّةِ اِبْرٰهٖمَ اِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهٗ
Dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri... (al-Baqarah2: 130).
Permintaan Bani Israil itu dijawab oleh Nabi Musa: “Sesungguhnya kamu hai Bani Israil tidak mengetahui sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang mustahil bagi-Nya. Dia adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Agama yang dibawa para rasul Allah sejak zaman dahulu sampai sekarang, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul penutup adalah agama yang mengakui keesaan Allah dengan sebenar-benarnya, tidak ada di dalamnya unsur syirik sedikit pun juga. Hal ini adalah karena ibadah atau menyembah itu merupakan suatu perasaan yang timbul dari hati sanubari. Perasaan itu menimbulkan ketundukan hati dan jiwa kepada Yang Maha Agung, menumbuhkan keyakinan bahwa dia sajalah yang berhak disembah; sedangkan yang lain adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama kedudukannya dengan ciptaan-Nya yang lain. Karena itu menyembah sembahan selain Allah akan merusak ketauhidan yang timbul dari perasaan yang ada dalam diri seorang, dan menunjukkan ketergantungan seseorang kepada sembahan, di samping tergantung kepada Allah. Karena itu Nabi Musa menolak dengan tegas permintaan kaumnya.
QS. Al-A'raf (7:146)
سَاَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ وَاِنْ يَّرَوْا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤْمِنُوْا بِهَاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الرُّشْدِ لَا يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۚ وَاِنْ يَّرَوْا سَبِيْلَ الْغَيِّ يَتَّخِذُوْهُ سَبِيْلًاۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا عَنْهَا غٰفِلِيْنَ
146. Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus memenempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai dari padanya.
Tafsir Jalalain
(Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku) dari bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan-Ku, yaitu berupa hasil-hasil ciptaan-Ku dan lain-lainnya (orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar) yaitu Aku akan menjadikan mereka terhina sehingga tidak lagi mereka berlaku sombong di muka bumi (jika mereka melihat tiap-tiap ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan) yakni titian (yang membawa kepada petunjuk) hidayah yang datang dari sisi Tuhan (mereka tidak mau menjalankannya sebagai jalan hidup) yang mereka tempuh (tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan) jalan yang salah (mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu) berpalingnya mereka itu (adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya) contoh mengenai mereka telah disebutkan.
Tafsir Tahlili Kemenag
“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Aṣ-Ṣaff61: 5).
Takabur menurut bahasa berarti, “menganggap dirinya besar”, atau “merasa agung”. Yang dimaksud oleh ayat ini ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Perangai dan sifat seorang yang takabur itu memandang enteng orang lain, seakan-akan dia sajalah yang pandai, yang berkuasa, yang menentukan terjadinya segala sesuatu dan sebagainya. Karena itu dalam tindak-tanduknya ia mudah melakukan perbuatan yang melampaui batas, berbuat sewenang-wenang dan suka berbuat kerusakan.
Dalam ayat ini sifat takabur itu digandengkan dengan perkataan “bigairil ḥaq” tanpa alasan yang benar. Hal ini menunjukkan sikap dan tindakan orang yang takabur itu dilakukan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan hawa-nafsu sendiri, sekali pun merugikan orang lain.
Takabur adalah penyakit jiwa yang diakibatkan oleh kesalahan dalam menilai dan menerima sesuatu. Kadang-kadang keberhasilan seseorang yang terus menerus dalam usahanya dapat juga menimbulkan sifat takabur, sehingga timbul keyakinan yang berlebihan pada dirinya sendiri, bahwa apa saja yang dicita-citakannya dan direncanakannya pasti tercapai dan berhasil. Merasa yakin akan kemampuan diri sendiri, ini akhirnya menimbulkan keyakinan bahwa dirinya tidak tergantung kepada siapa pun, juga tidak tergantung kepada Allah.
Dalam ayat ini diterangkan sifat-sifat orang yang takabur itu, yaitu:
1. Jika mereka melihat bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah, atau membaca ayat-ayat Allah, mereka tidak mempercayainya dan tidak mau mengambil iktibar serta pelajaran dari padanya. Dalil-dalil, bukti-bukti kekuasaan dan keesaan Allah serta ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung kebenaran mereka tolak. Dalil-dalil dan bukti-bukti itu tidak berfaedah bagi orang yang ragu-ragu dan tidak menginginkan kebenaran, karena ia merasa bahwa kebenaran itu sendiri akan membatasi dan menghalangi mereka dari perbuatan sewenang-wenang, sehingga cita-cita dan keinginan mereka tidak terkabul. Ayat ini merupakan isyarat bagi Nabi Muhammad saw, bahwa orang-orang musyrik dan kafir yang memperolok-olokkannya serta mendustakan Al-Qur’an dan mengadakan kekacauan dengan mencari-cari kesalahan dan kelemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan memutarbalikkan isinya dan kebenaran Al-Qur’an. Seandainya Nabi Muhammad mau mengikuti tuntutan mereka yang merupakan syarat beriman mereka kepadanya, mereka tetap tidak akan beriman sekali pun tuntutan mereka telah dipenuhi.
2. Jika melihat petunjuk dan jalan yang benar, mereka tidak mau mengikutinya, bahkan mereka menghindar dan menjauh padahal jalan itulah yang paling baik dan satu-satunya jalan yang dapat membawa mereka ke tempat yang penuh kebahagiaan.
3. Jika melihat jalan yang menuju kepada kesengsaraan, mereka mengikutinya, karena jalan itu telah dijadikan oleh setan dalam pikirannya sebagai yang paling baik dan indah. Mereka merasa dengan menempuh jalan itu segala keinginan dan hawa-nafsu mereka pasti akan terpenuhi. Menurut keyakinan mereka itulah surga yang dicita-citakan.
Pada akhir ayat ini diterangkan apa sebab hati mereka dipalingkan Allah, sehingga mereka tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah.
Telah menjadi hukum Allah, bahwa sering mengerjakan suatu pekerjaan, menyebabkan pekerjaan itu semakin mudah dikerjakan bahkan akhirya antara pekerjaan dengan orang-orang yang mengerjakannya menjadi satu, seakan-akan tidak dapat dipisahkan lagi. Demikian pula halnya antara perbuatan jahat dengan orang yang selalu mengerjakannya, tidak ada perbedaannya, sehingga akhirnya antara orang itu dengan perbuatan yang jahat yang dikerjakannya telah menjadi satu dan telah bersenyawa dengannya.
Karena itu pada hakikatnya bukanlah Allah yang memalingkan dan mengunci hati seseorang yang sesat itu, tetapi orang-orang yang sesat itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan manusia sejak lahir menjadi orang yang beriman atau menjadi orang yang kafir dan Dia tidak pula memaksa hambanya menjadi kafir atau beriman, tetapi seseorang menjadi beriman atau menjadi kafir atas usahanya sendiri. Mereka sendirilah yang memilih dan berusaha menjadi orang yang beriman dengan mengikuti petunjuk dan ajaran agama dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya. Ia selalu memperhatikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sehingga iman mereka bertambah lama bertambah kuat. Sebaliknya manusia itu sendirilah yang berusaha dan memilih jalan yang sesat atau menjadi orang yang kafir dengan mendustakan ayat-ayat Allah, meremehkan dan mengacuhkan ayat-ayat Allah, agar mereka dapat memuaskan keinginan dan hawa nafsu. Oleh karena perbuatan dosa itu selalu mereka kerjakan, maka perbuatan itu telah bersatu dengan dirinya, sehingga kebenaran apa pun yang datang selalu ditolak, seolah-olah hati mereka telah terkunci mati, telah berpaling dari kebenaran. Contoh ini disebutkan dalam firman Allah swt:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ ١٧٩
Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al-A‘rāf7: 179)
Perilaku orang seperti diterangkan ayat di atas banyak terdapat dalam masyarakat sepanjang sejarah hidup manusia. Mereka adalah orang yang sangat terpengaruh oleh kehidupan duniawi, seperti pangkat, kekuasaan, harta, kesenangan, dan sebagainya, mereka selalu memperturutkan hawa nafsunya. Mereka lupa dan sengaja melupakan ajaran-ajaran agama, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Jika disampaikan kepada mereka ajaran Allah, maka mereka melaksanakannya sekadar mencari simpati, sehingga dengan demikian nafsu dan keinginan mereka lebih mudah terpenuhi.
QS. Al-A'raf (7:150)
وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسٰٓى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَانَ اَسِفًاۙ قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِيْ مِنْۢ بَعْدِيْۚ اَعَجِلْتُمْ اَمْرَ رَبِّكُمْۚ وَاَلْقَى الْاَلْوَاحَ وَاَخَذَ بِرَأْسِ اَخِيْهِ يَجُرُّهٗٓ اِلَيْهِ ۗقَالَ ابْنَ اُمَّ اِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِيْ وَكَادُوْا يَقْتُلُوْنَنِيْۖ فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْاَعْدَاۤءَ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ
150. Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim"
Tafsir Jalalain
(Dan tatkala Musa kembali kepada kaumnya dalam keadaan marah) oleh sebab perbuatan mereka (dan sedih hati) yakni amat bersedih hati (berkatalah dia,) kepada mereka ("Alangkah buruknya perbuatan) teramat jelek perbuatan (yang kamu kerjakan) dalam hal ini (sesudah kepergianku!) dimaksud pekerjaanmu ini di mana kamu berlaku musyrik. (Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?" Dan Musa pun melemparkan lempengan-lempengan) yaitu lempengan-lempengan Kitab Taurat karena marah kepada kaumnya, sehingga lempengan-lempengan itu pecah (dan ia memegang rambut kepala saudaranya) dengan tangan kanannya dan jenggotnya dengan tangan kirinya (sambil menariknya ke arahnya) saking marahnya (Harun berkata,) "Hai (anak ibuku!) dengan mim dikasrahkan dan difathahkan, yang dimaksud adalah ummi, penyebutan dengan kata-kata ini untuk lebih menimbulkan rasa sayang ke dalam hati Musa (Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka) hampir saja (membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan gembira) membuat girang (musuh-musuh melihatku) karena kamu menghinakan diriku (dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang lalim.") sebagaimana engkau memperlakukan orang yang benar-benar menyembah anak sapi.
Tafsir Tahlili Kemenag
Selanjutnya Musa berkata kepada kaumnya. Mengapa kamu sekalian tidak sabar menanti kedatanganku kembali sesudah bermunajat kepada Tuhan, sampai kamu membuat patung dan menyembahnya seperti menyembah Allah, padahal aku hanya terlambat sepuluh malam. Apakah kamu mempunyai prasangka lain terhadapku karena keterlambatanku itu.
Menurut suatu riwayat, bahwa Samiri pernah berkata kepada Bani Israil sewaktu ia memperlihatkan patung anak sapi yang baru dibuatnya kepada mereka: Ini adalah tuhanmu dan tuhan Musa, sesungguhnya Musa tidak akan kembali dan sesungguhnya ia telah mati.
Dalam kemarahannya Nabi Musa melemparkan lauh-lauh yang ada di tangannya, tetapi bukan bermaksud hendak merusaknya, seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama, “maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua lauh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu.” (Keluaran 32:19). Nyatanya dalam 7:154 benda-benda itu masih utuh, berisi ajaran Allah. Rasanya kurang hormat (kalau tidak akan dikatakan menghina Tuhan) bila menduga bahwa Utusan Allah telah menghancurkan lauh-lauh yang berisi ajaran-ajaran Allah dalam kemarahannya yang tak terkendalikan itu. lalu memegang ubun-ubun Harun, karena ia mengira bahwa Harun tidak berusaha sungguh-sungguh mencegah perbuatan kaumnya menyembah patung anak sapi itu, dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan selama ia pergi ke Bukit Sinai, atau melaporkan perbuatan kaumnya yang telah sesat itu. Sangkaan Musa kepada Harun ini dilukiskan dalam firman Allah sebagai berikut:
قَالَ يٰهٰرُوْنُ مَا مَنَعَكَ اِذْ رَاَيْتَهُمْ ضَلُّوْٓا ۙ ٩٢ اَلَّا تَتَّبِعَنِۗ اَفَعَصَيْتَ اَمْرِيْ ٩٣
“Dia (Musa) berkata, “Wahai Harun! apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat, (sehingga) engaku tidak mengikuti aku?” Apakah engkau telah (sengaja) melanggar perintahku?” (Ṭāhā20: 92-93).
Perkataan Musa dijawab oleh Harun, “Wahai anak ibuku, janganlah engkau tergesa-gesa mencela aku, dan jangan pula tergesa-gesa memarahi aku, karena menyangka aku tidak bersungguh-sungguh melaksanakan perintahmu dan tidak menghalangi mereka. Sebenarnya aku telah berusaha menghalangi mereka dari mengerjakan perbuatan sesat itu dan memberi nasihat kepada mereka. Tetapi mereka memandangku orang yang lemah, bahkan mereka hampir saja membunuhku. Janganlah engkau bertindak terhadapku dengan tindakan yang menyenangkan musuh; mereka gembira dan tertawa lantaran bencana yang menimpa diriku, janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang berakibat kerugian bagi diriku sendiri, yaitu golongan yang menyembah patung anak sapi, aku sendiri bukanlah termasuk golongan itu.”
Sikap Musa dan Harun yang berbeda terhadap perbuatan kaumnya itu menunjukkan pula perbedaan watak kedua orang Nabi Allah ini. Musa adalah orang yang keras dan tegas menghadapi suatu perbuatan sesat yang dilarang Allah, sedang Harun adalah orang yang lemah lembut dan tidak mau menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbuatan sesat.
Topik "Kemusyrikan Israil" menunjukkan bagian penting dari tema "Israil", yang mengajarkan nilai-nilai iman, ketaatan, dan pemahaman terhadap wahyu Ilahi.