Keberanian dan Keteguhan Hati Sayyidina Husain: Menyadari Tragedi Karbala
Kisah jasad ke-3 dari keturunan Rasulullah SAW, Sayyidina Husain bin Ali, telisik dalam sejarah Islam penuh makna. Kegigihan beliau menentang ketidakadilan dan pemeliharaan kebenaran menimbulkan tragedi memilukan di Karbala yang tak akan pernah dilupakan oleh umat Muslim.
Karbala, kota suci bagi kaum Syiah di Irak, menyimpan jejak sejarah kelam ini. Pusatnya makam Sayyidina Husain dan pengikut setia yang gugur akibat peperangan dengan pasukan Khalifah Yazid bin Muawiyah, pemimpin yang dianggap oleh Sayyidina Husain melakukan banyak penyimpangan dalam kepemimpinannya.
Penolakan dan Perjalanan Menuju Karbala
Setelah wafatnya Muawiyah bin Abu Sufyan, penunjukkan Yazid sebagai Khalifah menuai banyak penolakan, termasuk dari Sayyidina Husain. Bukan karena ambisi politik, melainkan karena Husain melihat banyak penyimpangan akhlak, keadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan Yazid. Ia memilih menolak memberikan baiat (sumpah setia) untuk tidak melegitimasi kepemimpinan yang zalim. Kurangnya keadilan dan pembenaran pelanggaran hukum menjadi pemicu utama penolakan Husain.
Di sisi lain, kaum muslimin di Kufah (Irak), mengirim surat dan utusan yang menyatakan kesetiaan mereka dan meminta usul Husain untuk menjadi pemimpin di sana.
Setelah mempertimbangkan situasi dan mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, ke Kufah terlebih dahulu, Husain akhirnya memutuskan untuk berangkat dari Makkah menuju Kufah bersama keluarga dan sejumlah kecil sahabat. Perjalanan mereka dipenuhi tantangan dan keputusasaan karena janji kesetiaan dari Kufah akhirnya mengingkari perkataan mereka.
Tragedi di Karbala
Di padang Karbala, pasukan Yazid yang berjumlah ribuan orang mengepung Husain dan rombongannya. Dalam kondisi genting, kelaparan, dan haus karena akses ke Sungai Eufrat ditutup, pasukan Husain yang hanya berjumlah sekitar 70 orang tetap menolak tunduk kepada Yazid. Padahal ia diberikan kesempatan untuk bertahan dan melepaskan diri tanpa bertarung.
Pertempuran yang berlangsung pada 10 Muharram tahun 61 Hijriah, menimbulkan rasa duka mendalam. Satu per satu sahabat dan anggota keluarga Husain gugur dengan penuh kehormatan. Bahkan keponakannya Qasim bin Hasan, putra Ali Akbar, dan saudaranya Abbas bin Ali ikut gugur dalam pertempuran.
Sayyidina Husain sendiri gugur dalam ketegangan yang luar biasa. Dalam beberapa sumber tercatat bahwa ia dihakimi dengan pemukulan pedang hingga berdarah dan diluncurkan panah yang mengenai lehernya. Ia akhirnya diringkus dan dibunuh saat berusaha mencapai sungai untuk minum.
Peringatan dan Pengaruh Karbala
Keberanian dan keteguhan hati Sayyidina Husain di Karbala menjadi perlambang bagi umat Muslim. Pilu pertempuran ini mengingatkan agar selalu memegang teguh kebenaran, menentang ketidakadilan dan zalim, serta berkorban demi akidah.
Dalam sunnah Rasulullah SAW yang tercatat dalam hadits beliau, beliau mengatakan, "Aku telah memohon kepada Allah SWT tentang tiga perkara. Dan Allah hanya mengabulkan dua perkara saja, sedang satu lagi ditolak. Aku telah memohon kepada Allah SWT agar tidak membinasakan umatku dengan kesusahan yang berkepanjangan. Doaku ini dikabulkan. Aku telah memohon kepada Allah SWT agar umatku ini tidak dibinasakan dengan bencana banjir (seperti banjir Nabi Nuh AS). Doaku ini dikabulkan. Aku telah memohon kepada Allah SWT agar umatku ini tidak dibinasakan dengan perselisihan antar sesama mereka. Doaku ini tidak dikabulkan."
(HR Amr bin Said)