Mengenai Kemenyan: Pandangan Islam dan Tradisinya

Mengenai Kemenyan: Pandangan Islam dan Tradisinya

Di Indonesia, penggunaan menyan atau dupa seringkali menjadi bahan pembahasan, terutama di lingkup keislaman. Ada yang mewaspadainya, bahkan menganggapnya sebagai praktik syirik atau mirip dengan amalan perdukunan. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang kemenyan? Menelusuri fenomena ini membuka jendela kebudayaan dan sejarah penggunaan kemenyan.

Secara harfiah, kemenyan adalah zat beraroma khas yang dibakar untuk menghasilkan asap harum.

Dalam bahasa Arab, kemenyan dikenal dengan nama "al-bakhūr" atau "lubān". Ada pula jenis kemenyan bernama "kundur" atau "lubān dzakar", yang biasa digunakan dalam pengobatan Arab dan ruqyah.

Kemenyan memiliki sejarah panjang. Di Mesir kuno, Yunani, India, hingga Arab, kemenyan digunakan dalam berbagai ritual dan praktik. Di Timur Tengah, khususnya Jazirah Arab, membakar kemenyan menjadi tradisi umum, terutama untuk mengharumkan rumah, pakaian, dan masjid.

Penggunaan Kemenyan dalam Sejarah Islam

Dalam sejarah Islam, kemenyan pernah disebut dalam berbagai riwayat, menunjukkan bahwa penggunaan kemenyan bukan hal asing bagi bangsa Arab, termasuk kaum muslimin. Dalam sebuah riwayat, dialirkan:

"Dahulu Nabi SAW mengharumkan dirinya dengan minyak wangi dan buhur (kemenyan), terutama pada hari Jumat." (HR. Ahmad dan al-Bazzar - sanadnya hasan)

Riwayat ini menunjukkan pembakaran kemenyan sebagai wewangian pernah dilakukan, bahkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam buku Taudhihul Adillah 2 karya H Muhammad Syafi`i dijelaskan bahwa membakar dupa, mustika, kayu gaharu (sembako) dan kemenyan yang harum untuk mengharumkan ruangan yang membawa ketenangan suasana adalah suatu hal yang baik, ditinjau dari sudut pandang agama.

Rasulullah SAW menyukai wangi-wangian, baik berupa minyak wangi, bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa.

Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kamu mengukup (memberi wewangian) mayit, maka ganjilkanlah." (HR Ibnu Hibban dan Al Hakim)

Hadits lainnya: "Apabila kamu mengukup mayit, maka ungkuplah tiga kali." (HR Ahmad)

Menurut NU Online, bahkan beberapa sahabat Nabi SAW berwasiat agar kain kafan mereka diukup dengan kayu gaharu,

أوصى أبوسعيد وابن عمر وابن عباس رضي الله عنهم ان تجمر اكفنهم بالعود

Artinya: Abu Said, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra. Berwasiat agar kain-kain kafan mereka diukup dengan kayu gaharu:

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, "Jauhkanlah masjid-masjid kamu dari anak-anak kamu, dari pertengkaran kamu, pendarahan kamu dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci." (HR. Al-Thabrani).

Hadits-hadits tersebut menunjukkan betapa wangi-wangian adalah sesuatu yang telah menjadi tradisi di zaman Rasulullah SAW.

Hukum Membakar Kemenyan dalam Islam

Habib Novel Alaydrus dalam tayangan di YouTube channelnya yang berjudul Membakar Menyan (kemenyan), menjelaskan hukum membakar kemenyan dalam Islam.

Beliau mengatakan, "Menyan adalah istilah dalam bahasa Jawa yang merujuk pada bahan aromatik yang dibakar, menghasilkan asap yang beraroma khas. Dalam istilah modern, menyan bisa disamakan dengan aromaterapi, yaitu membakar bahan tertentu untuk menciptakan suasana harum," jelas Habib Novel.

Lebih lanjut Habib Novel menjelaskan dalam bahasa Arab, istilah menyan dikenal sebagai "bukhūr" atau "ghāru" (gaharu). Rasulullah SAW dan para sahabat dikenal menyukai bau-bauan harum, terutama saat hendak salat atau menghadiri majelis.

Islam sangat menjunjung tinggi kebersihan dan keharuman. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan." (HR. Muslim)

Maka, jika seseorang membakar menyan atau dupa dengan niat untuk mengharumkan ruangan, menyegarkan suasana ibadah, atau mengikuti sunnah Nabi saw dalam menjaga kebersihan dan aroma tubuh, maka perbuatan itu tergolong mustahabb (disukai) bahkan sunnah.

Sayangnya, sebagian orang terburu-buru menuduh bahwa membakar menyan adalah perbuatan syirik. Padahal, tidak semua yang tampak serupa dengan ritual syirik otomatis dihukumi syirik. Yang menjadi ukuran dalam Islam adalah niat dan tujuan.

“Jika niatnya untuk mengharumkan ruangan sehingga orang lebih khusyuk dalam berdoa, agar para malaikat senang, maka itu sunnah yang pernah dianjurkan. Maka jangan dikatakan orang yang bakar menyan telah berbuat musyrik, dia telah menyekutukan Allah. Di mana letak menyekutukan Allah? Tidak ada, karena niatnya adalah untuk mengagungkan sunnah Nabi Muhammad SAW agar harum wangi dan khusuk,” jelas Habib Novel.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak