Akidah Imam Syafi’i



Imam Syafi’i sebagaimana para salafusshalih yang hidup pada tiga kurun awal memiliki akidah yang masih murni dan jauh dari perdebatan tercela. Tidak heran jika mereka termasuk ummat terbaik yang dikatakan nabi:

خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku (generasi sahabat). Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi tabi’in), lalu orang-orang yang setelah mereka (generasi tabi’ tabi’in).” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650).

Beberapa ulama kurun-kurun awal menulis kitab akidah yang menghimpun tentang pengetian iman, sifat-sifat Allah, tentang kenabian, hari kiamat, dan lain sebagainya. Termasuk diantaranya adalah Imam Syafi’i. Imam Baihaqi dalam kitab Manaqib Al-Syafi’i telah menghimpun akidah imam Syafi’i dari maqalah-maqalahnya (perkataan), diantaranya adalah sebgai berikut.

Mensucikan Allah Dari Keserupaan Dengan Mahkluk

Sudah menjadi kesepakatan dalam Ahlussunnah baik dari generasi salaf maupun khalaf bahwa keyakinan dalam hal nash yang secara zahirnya memberi kesan kepada tajsim (bermateri pada zat) dan tasybih (menyerupai makhluk) adalah dengan mensucikan Allah dari menyerupai makhluknya dan menafikan makna zahir yang hakiki. Namun, mereka berbeda pendapat dalam manhaj (metode) menyikapi nash yang mutasyabihah tersebut, ada yang melakukan tafwidh dan ada pula yang melakukan takwil. Tafwidh adalah menyerahkan makna yang dimaksud kepada Allah serta mensucikan allah dari yang tidak layak baginya. Sedangkan takwil adalah memalingkan lafaz dari makna zahirnya kepada salah satu makna lain yang memungkinkan, dengan mempertimbangkan dalil. Dan ini adalah mazhab sebagian salaf dan mayoritas khalaf. 

Ada banyak banyak riwata yang menunjukkan imam Syafi’i mensucikan Allah dari menyerupai makhluk. Seperti perkaannya berikut : “ Aku beriman dengan tanpa menyamakan (tasybih), aku membenarkan dengan tanpa menyerupakan (tamtsil)” , dalam riwayat lain imam Syafi’i berkata :”haram bagi akal menyerupakan allah ta’ala (dengan makhluknya)...... kecuali apa yang disifatkan oleh allah sendiri melalui lisan nabinya” .

Imam Syafi’i menetapkan apa yang disifatkan oleh allah pada zatnya, tidak menetukan maknanya, serta menafikan tsybih (penyerupaan), penyamaan (tamtsil), dan pembatasan pada allah swt. Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa aqidah imam Syafi’i dalam hal nash musytabihah sesuai dengan mayoritas Salafussalih, yaitu menyerahkan maknanya kepada allah (tafwidh). Namun, dalam beberapa riwaya lain menunjukkan imam Syafi’i juga melakukan takwil . Begitu juga ada banyak riwayat yang menunjukkan takwil dari imam Malik, imam Ahmad, imam Bukhari, imam Thabari.

Al-Quran Kalam Allah Yang Qadim

Mazhan Ahlussunnah menyatakan bahwa “Al-Quran” adalah lafaz yang menagandung lebih dari satu makna (musytarak). Oleh karena itu, terkdang yang dimaksudkan al-quran adalah sifat kalam dari sifat-safat Allah swt. Maka, Al-quran dengan makna ini adalah qadim bukan hadist (baru), karena itu adala sifat allah yang qadim. Dan terkadang yang dimaksudkan dengan Al-quran adalah lembaran-lembaran yang tertulis al-quran, huruf-huruf, suara-suara bacaan al-quran. Al-quran dengan makna ini hadist (baru), karena tulisan dan suara adalah perbuatan manusia. Perbuatan manusia tentu saja bukan qadim.

Imam Syafi’i mengatakan :

القران كلام الله غير مخلوق

“Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk”

Dalam Riwayat lain imam Syafi’I mengatakan kepada seorang pemuda:

“engkau mengakui bahwa telah allah ada dan kalamnya pun telah ada?, atau allah telah ada dan kalamnya belum ada?”, lelaki itu mejawab “ tentu saja, allah telah ada dan kalamnya” imam Syafi’I tersenyum dan berkata “ wahai penduduk Kufah, kalian telah mendatangkan kepadaku perkataan yang besar, jika kalian mengakui bahwa allah telah ada sebelum semuanya, dan kalamnya telah ada, maka darimana kalam menurut kalian?”

Yang dimaksud kalam Allah dari Al-quran oleh Imam Syafi’I ianlah esensi bacaan (nafsul matluw), bukan bacaan dan tulisannya. Karena bacaan dan tulisan adala perbuatan manusia, maka tidak mungkin dikatakan bacaan dan tulisan itu qadim.

Sikap/pendirian Imam Syafi’I terhadap Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil akidah keagamaan dengan tujuan membuktikan dan menolak syubhat, dan ilmu ini termasuk di antara ilmu-ilmu yang sangat diperlukan dalam studi akidah. Namun terkadang, bagi Sebagian orang, berkecimpung dalam ilmu kalam berpotensi jatuh dalam kesesatan akidah. Karena itulah, kebanyakan ulama salaf, melarang ilmu kalam.

Para sahabat dan tabi’in tidak terlibat dalam ilmu kalam disebabkan akidah pada zaman mereka masih murni berkat masa mereka yang dekat kepada Rasulullah saw. Dan juga karena sedikitnya perbedaan pendapat (ikhtilafat), sehingga belum banyak bid’ah dan pemikiran menyimpang yang tersebar dalam ummat islam. Disamping juga sikap salafusshalih mendorong ummat untuk menjauhi perdebatan.

Imam Syafi’I berkata: “Pendapatku dalam ilmu kalam adalah bahwa seseorang seharusnya dijauhkan dari ilmu ini.” (Manaqib al-Syafi’I, jilid 1, hal. 460).

Penolakan Imam Syafi'i terhadap ilmu kalam sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu ‘Asakir dan Imam Al-Baihaqi adalah dalam konteks ilmu kalam ahli bid’ah, yang tidak sesuai quran dan sunnah, seperti ilmu kalam Muktazilah yang terpengaruh filsafat Yunani yang berkembang pada masa imam syafi’i.

Ketika cobaan dan krisis pemikiran melanda ummat Islam, muncul kebutuhan untuk mewujudkan suatu cabang ilmu tersendiri yang berkaitan dengan pembuktian keyakinan agama dengan argumen yang pasti dan menolak syubhah. Di antara yang pertama menekuni ilmu kalam adalah Imam Abu Hanifah, Imam Al-Harith Al-Muhasibi, dan Imam Al-Karabisi, keduanya merupakan murid Imam Al-Syafi'i. Imam Al-Syafi'i sendiri diriwayarkan telah berdebat dengan beberapa mubtadi’ah (ahli bid’ah) pada masanya. Al-Baghdadi menisbatkan kepada imam syafi’i dua kitab dalam bidang ushuluddin, yaitu "Tashih Al-nubuwwah wa Al-radd ‘Ala Al-Barahimah" dan “Al-Radd “Ala Ahli Al-Ahwa’”.

Para ulama madzhab Syafi’i dan para muhaqqiqnya, seperti Al-Hafiz Al-Baihaqi, Imam Al-Haramain, Imam Al-Izz bin Abdul Salam, Imam An-Nawawi, dan lain-lain, beranggapan bahwa menekuni ilmu kalam, yang menegakkan akidah ahli Sunnah dengan dalil-dalil rasional (aqliyah) dan menangkal syubhat ahli bid’ah dan atheis, adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Imam An-Nawawi berkata: “Adapun ilmu yang disebut ilmu kalam, maka ilmu itu bukanlah kewajiban perorangan(fardhu ‘ain), dan para sahabat ra tidak menekuninya”. Imam Haramain berkata: “Seandainya manusia tetap dalam kemurnian Islam, niscaya kami tidak akan mewajibkan menekuninya, dan mungkin kami akan mengharamkannya. Adapun saat ini, ketika bid'ah telah muncul, maka tidak ada jalan untuk membiarkan bid’ah tersebut menyerang, dan yang mesti dipersiapkan adalah yang mengajak ke jalan yang benar dan yang menghilangkan syubhat. Maka, menekuni dalil-dalil akal telah menjadi kewajiban Bersama (fardhu kifayah).

1. Perkataan al-Syafi'i dalam kitab "Manaqib al-Syafi'i" oleh al-Baihaqi: "Bahwasanya Imam al-Syafi'i berkata: ‘Pendapatku dalam ilmu kalam adalah bahwa seseorang seharusnya dijauhkan dari ilmu ini.’” (Manaqib al-Syafi'i, jilid 1, hal. 460).

2. Al-Syafi'i juga berkata: "Hukum untuk ahli kalam adalah bahwa mereka seharusnya dipukul dengan tongkat dan diarak di hadapan umum sambil dikatakan: 'Inilah hukuman bagi orang yang meninggalkan al-Qur'an dan Sunnah serta memilih ilmu kalam.'" (Al-I’tiqad al-Syafi’i, hal. 197).

Berikut penjelasan Habib ali Baqir al saqqaf terkait Apakah Imam Syafi’i mengharamkan Ilmu Kalam:



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url