Kehebatan imam Syafi’i dalam istinbath hukum dari quran dan sunnah
Kemampuan menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syariat (istinbath) adalah kemampuan yang jarang sekali ada ulama yang memilikinya sejak zaman sahabat hingga era setelahnya. Salah satu ulama yang karuniai kemampuan tersebut oleh Allah adalah Imam Syafi’i, ketika usianya kurang dari dua puluh tahun.
Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Imam Malik untuk meminta fatwa: Saya bersumpah cerai karena Qamari (sejenis burung yang mirip merpati) ini tidak berhenti berkicau . Imam Malik menyimpulkan bahwa orang tersebut telah melanggar sumpahnya, sehingga istrinya diceraikan. Karena Qamari pasti berhenti berkicau dan tidak mungkin berkicau setiap saat, karena itu imam Malik berfatwa bahwa istrinya tertalak.
Syafi’i mengetahui fatwa ini, dan berkata: “Yang dimaksud dengan orang tersebut adalah qamari banyak atau sering berkicau, bukan tidak henti-henti berkicau. Imam Syafi’i berkata kepada laki-laki itu: Kamu belum menceraikan istrimu. Karena sebagian besar waktu qamari berkicau, dan dalam sebagian waktu dia tidak berkicau, sehingga tidak terjadi perceraian.
Maka laki-laki itu kembali kepada Imam Malik dan bertanya kepadanya, “Dalam majelismu, siapa yang memberiku fatwa bahwa istriku halal bagiku?”, imam malik berkata: dalam majelisku? Lelaki itu menjawab: Ya. imam malik bertanya: Siapa dia? Lelaki itu menunjuk kepada imam Syafi’i. Kemudian imam malik berkata kepada Al-Syafi’i: Apakah kamu memberinya fatwa itu? Ia menjawab: Ya. Imam malik bertanya kembali :Mengapa kamu memberinya fatwa itu? Imam Syafi’i menjawab: Aku mendengar engkau meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah saw bersabda :
ا حَلَلۡتِ فَآذِنِينِي) قَالَتۡ: فَلَمَّا حَلَلۡتُ ذَكَرۡتُ لَهُ، أَنَّ مُعَاوِيَةَ بۡنَ أَبِي سُفۡيَانَ وَأَبَا جَهۡمٍ خَطَبَانِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: (أَمَّا أَبُو جَهۡمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنۡ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعۡلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ.
Artinya : Apabila engkau telah selesai iddah, beri tahu aku. Fatimah berkata, Ketika aku telah selesai iddah, aku menyebutkan kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Rasulullah saw bersabda, Adapun Abu Jahm, maka ia tidak meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Adapun Mu’awiyah orang yang sangat fakir, tidak punya harta.” (HR Muslim).
Rasulullah saw, mengetahui bahwa Abu Jahm meletakkan tongkatnya dari bahunya dalam mengatur urusannya. Abu Jahm dituduh melakukan tindakan pemukulan terhadap wanita, makanya rasulullah menyebutkan bahwa abu Jahm tidak menurunkan tongkatnya dari bahunya, dan rasulullah mengaitkan ungkapan tersebut dengan sebagian besar tindakannya (artinya bukan setiap saat meletakkan tongkatnya dari bahunya). Aku (imam Syafi’i) bertanya kepadanya (lelaki tersebut) : Apakah diamnya (Qamari) lebih banyak atau berkicaunya? Dia menjawab: kicauannya. Karena itu aku memberinya fatwa demikian. Malik tersenyum dan berkata: “pendapat (yang benar) adalah pendapatmu.”
Muhammad bin al-Hasan, sahabat Abu Hanifah, memuji imam Syafi’i:
قال محمد بن الحسن صاحب أبي حنيفة ممتدحًا الشافعي: «ليس فلان عندنا بفقيه؛ لأنه يجمع أقوال الناس ويختار بعضها. قيل: فمن الفقيه؟ قال: الذي يستنبط أصلا من كتاب أو سنة لم يسبق إليه، ثم يشعب في ذلك الأصل مئة شعب. قيل : فمن يقوى على هذا ؟ قال: محمد بن إدريس ) (۲).
“Menurut pendapat kami, si fulan bukanlah seorang ahli fikih, karena dia mengumpulkan perkataan orang-orang dan memilih beberapa di antaranya.” Seseorang bertanya: “Siapakah ahli fikih itu?” Dia menjawab: “Orang yang menyimpulkan (instibath) ushul dari Kitab atau Sunnah yang belum pernah ditemukan oleh seorang pun sebelumnya, kemudian dia mengembangkan dari ushul itu seratus cabang hukum. Seseorang bertanya: Siapa yang sanggup melakukan ini? Dia berkata: Muhammad bin Idris.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
ما كان أصحاب الحديث يعرفون معاني حديث رسول الله ﷺ حتى قدم الشافعي فبينها
“Para ahli hadits tidak mengetahui makna hadits Rasulullah saw, hingga Imam Syafi’i datang dan menjelaskannya.