Hukum Membunuh Muslim - Bunuh Dalam Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an, tema Bunuh salah satunya dijelaskan melalui topik Hukum Membunuh Muslim, yang tercermin dari ayat-ayat berikut ini lengkap dengan terjemah dan tafsir Jalalain serta Tahlili Kemenag.

QS. An-Nisa (4:92)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

92. Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Tafsir Jalalain

(Dan tidak sepatutnya seorang mukmin membunuh seorang mukmin) yang lain; artinya tidak layak akan timbul perbuatan itu dari dirinya (kecuali karena tersalah) artinya tidak bermaksud untuk membunuhnya. (Dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah itu) misalnya bermaksud melempar yang selainnya seperti binatang buruan atau pohon kayu tetapi mengenai seseorang dengan alat yang biasanya tidak menyebabkan kematian hingga membawa ajal (maka hendaklah memerdekakan) membebaskan (seorang hamba sahaya yang beriman beserta diat yang diserahkan) diberikan (kepada keluarganya) yaitu ahli waris yang terbunuh (kecuali jika mereka bersedekah) artinya memaafkannya. Dalam pada itu sunah menjelaskan bahwa besar diat itu 100 ekor unta, 20 ekor di antaranya terdiri dari yang dewasa, sedang lainnya yang di bawahnya, dalam usia yang bermacam-macam. Beban pembayaran ini terpikul di atas pundak `ashabah sedangkan keluarga-keluarga lainnya dibagi-bagi pembayarannya selama tiga tahun, bagi yang kaya setengah dinar, dan yang sedang seperempat dinar pada tiap tahunnya. Jika mereka tidak mampu maka diambilkan dari harta baitulmal, dan jika sulit maka dari pihak yang bersalah. (Jika ia) yakni yang terbunuh (dari kaum yang menjadi musuh) musuh perang (bagimu padahal ia mukmin, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman) jadi bagi si pembunuh wajib kafarat tetapi tidak wajib diat yang diserahkan kepada keluarganya disebabkan peperangan itu. (Dan jika ia) maksudnya yang terbunuh (dari kaum yang di antara kamu dengan mereka ada perjanjian) misalnya ahli dzimmah (maka hendaklah membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya) yaitu sepertiga diat orang mukmin, jika dia seorang Yahudi atau Nasrani, dan seperlima belas jika ia seorang Majusi serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman) oleh si pembunuhnya. (Siapa yang tidak memperolehnya) misalnya karena tak ada budak atau biayanya (maka hendaklah berpuasa selama dua bulan berturut-turut) sebagai kafarat yang wajib atasnya. Mengenai pergantian dengan makanan seperti pada zihar, tidak disebutkan oleh Allah swt. Tetapi menurut Syafii, pada salah satu di antara dua pendapatnya yang terkuat, ini diberlakukan (untuk penerimaan tobat dari Allah) mashdar yang manshub oleh kata kerjanya yang diperkirakan. (Dan Allah Maha Mengetahui) terhadap makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) mengenai pengaturan-Nya terhadap mereka.

Tafsir Tahlili Kemenag

Pertama: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin. Maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, disamping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.

Kedua: Mukmin yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya memusuhi kaum Muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.

Ketiga: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan kasus yang pertama tadi.

Mengenai kewajiban memerdekakan "hamba sahaya yang mukmin" yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu; atau karena sama sekali tidak mungkin mendapatkan hamba sahaya, misalnya pada zaman sekarang ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya. Dalam hal ini, kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian ia bebas dari kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman.

Mengenai "ketidaksengajaan" dalam pembunuhan yang disebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kecerobohan yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin menjadi sasaran pelurunya tanpa sengaja. Kecerobohan dan sikap tidak berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam berbuat terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia lainnya.

Adapun diat (diyat) atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dari Rasulullah saw disebutkan sebagai berikut:

اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى فِى الدِّيَةِ عَلَى اَهْلِ اْلاِبِلِ مِائَةً مِنَ اْلاِبِلِ وَعَلَى اَهْلِ الْبَقَرِ مِائَتَيْ بَقَرَةٍ وَعَلَى اَهْلِ الشَّاةِ أَلْفَيْ شَاةٍ وَعَلَى اَهْلِ الْحُلَلِ مِائَتَيْ حُلَّةٍ (رواه ابو داود)

"Bahwasanya Rasulullah saw telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing, dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan" (Riwayat Abu Dāwud).

Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh dan ‘āqilah (keluarga), yang juga disebut "asabah"-nya. Dalam kitab hadis al-Muwaṭṭa’ “Kitāb al-Uqūd” dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak, dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada ‘āqilah dari si pembunuh.

QS. An-Nisa (4:93)

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا

93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Tafsir Jalalain

(Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja) artinya sengaja hendak membunuhnya dengan alat yang biasa dipergunakan untuk membunuh di samping ia tahu pula bahwa orang yang akan dibunuhnya itu beriman (maka balasannya ialah neraka Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya) artinya menjauhkannya dari rahmat-Nya (serta menyediakan baginya siksa yang besar) yakni di neraka. Ini ditakwilkan jika seseorang menganggapnya halal dengan pernyataan bahwa inilah balasannya yang setimpal jika dihukum menurut sepatutnya. Tetapi dengan catatan bahwa hukuman itu dapat saja diubah berdasarkan firman Allah swt., "Dan Dia mengampuni dosa selain itu, syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya." Dan menurut Ibnu Abbas bahwa ayat ini menasakhkan ayat-ayat lain yang berisi pengampunan sementara ayat pada surah Al-Baqarah menyatakan bahwa orang yang membunuh secara sengaja hendaklah dibunuh pula dan bahwa ia wajib membayar diat jika memperoleh kemaafan dan telah diterangkan pula berapa banyaknya. Di samping itu sunah menerangkan pula bahwa di antara sengaja dengan tersalah itu ada semacam pembunuhan yang disebut semi sengaja, yakni jika seseorang membunuh orang lain dengan alat yang tidak biasa digunakan untuk membunuh, maka tidak wajib kisas, hanya diat, sebagaimana pula sengaja dalam bentuk atau sifatnya tetapi tersalah dalam mengundurkan dan melakukannya. Dan ini dalam keadaan sengaja lebih patut membayar kafarat daripada dalam keadaan tersalah. Ayat berikut ini turun tatkala serombongan sahabat lewat pada seorang laki-laki dari Bani Sulaim yang sedang menghalau kambingnya. Orang itu memberi salam kepada rombongan sahabat itu tetapi kata mereka, "Ia mengucapkan salam itu hanyalah untuk menyelamatkan dirinya," lalu orang itu mereka bunuh dan mereka halau ternaknya.

Tafsir Tahlili Kemenag

Perlu diketahui, berbagai hukuman yang disebutkan dalam ayat ini diancamkan kepada si pembunuh mukmin, yang membunuh mukmin yang lain dengan sengaja, adalah merupakan azab ukhrawi, yaitu azab yang akan diterima di akhirat kelak. Sedang di dunia ini, berlaku hukuman duniawi yang dilakukan oleh pihak penguasa. Menurut peraturan yang telah ditentukan dalam agama, yaitu: apabila dalam sidang pengadilan seseorang telah terbukti bersalah, maka terhadapnya dijatuhkan dan dilaksanakan hukum kisas, yaitu pembalasan yang setimpal, nyawa dengan nyawa. Tetapi, apabila ahli waris dari yang terbunuh memberikan maaf dan tidak menghendaki pelaksanaan hukuman kisas terhadap si pembunuh, maka pihak si pembunuh diwajibkan membayar diat, yang harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Artinya: harus dibayar oleh yang bersangkutan pada waktu dan dengan jumlah yang ditetapkan oleh pengadilan tanpa mengulur-ulur waktu. Sebaliknya pihak yang akan menerima harus bersabar sampai datangnya waktu yang telah ditetapkan dan tidak mendesak (lihat al-Baqarah2:178).

Mengenai tobat si pembunuh menurut zahir ayat ini memang tidak diterima Allah swt, karena dalam ayat ini disebutkan bahwa ia kekal dalam neraka Jahanam, sedang orang yang diterima tobatnya oleh Tuhan tidak akan kekal dalam neraka. Mengenai masalah ini ada dua pendapat:

Pertama: Pendapat sebagian sahabat, antara lain Ibnu Abbas, mengatakan bahwa orang mukmin yang membunuh orang mukmin lain dengan sengaja tidak diterima tobatnya di sisi Allah Yang Maha Esa. Lain halnya dengan orang musyrik yang walaupun pada masa-masa musyriknya ia membunuh, tetapi ia berbuat demikian sebelum ia mendapat petunjuk dan belum mengetahui hukum-hukum Allah, maka perbuatan membunuhnya diampuni oleh Allah selama perbuatan itu tidak diulangi setelah masuk Islam. Tetapi apabila ia telah memperoleh petunjuk dan telah mengetahui hukum-hukum dan larangan-larangan agama, maka perbuatannya itu berarti meremehkan hukum Allah yang telah diketahuinya dengan baik, dan seolah-olah telah meninggalkan imannya. Maka wajar bila Allah tidak menerima tobatnya, sebaliknya Allah memberikan azab yang kekal dalam neraka Jahanam dan kemurkaan serta laknat-Nya.

Kedua: Pendapat sebagian ulama, si pembunuh walaupun ia membunuh mukmin lainnya dengan sengaja, namun bila ia bertobat maka tobatnya masih diterima Allah, sebab Allah telah menjelaskan bahwa hanya dosa syiriklah yang tidak diampuni-Nya. Adapun dosa-dosa selain syirik masih dapat diampuni bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدِ افْتَرٰٓى اِثْمًا عَظِيْمًا ٤٨

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar. (an-Nisā’4:48).

Jika Allah dapat menerima tobat seorang yang dahulunya musyrik yang melakukan pembunuhan dan perzinaan, kemudian ia masuk Islam dan bertobat serta senantiasa melakukan amal-amal saleh dan menjauhi perbuatan jahat, mengapa tobat seorang mukmin yang melakukan satu kali pembunuhan saja tidak dapat diterima Allah? Apakah tidak mungkin bahwa setelah melaksanakan pembunuhan itu yang mungkin karena disebabkan dorongan emosi yang meluap-luap, ia sadar akan kesalahannya dan mengetahui betapa besar dosanya dan betapa berat azab yang akan diterimanya, lalu ia bertobat kepada Allah dan menjauhi segala macam kejahatan, serta mengerjakan amal-amal saleh dengan tekun?

Adapun orang-orang yang mengaku mukmin, tetapi ia senantiasa bergelimang dalam perbuatan dosa dan membunuh orang-orang mukmin yang lain yang dianggapnya sebagai musuh-musuhnya, atau karena ingin menguasai harta benda, maka orang-orang semacam ini tidak diterima tobatnya di sisi Allah dan selayaknyalah mereka menerima azab neraka dan kekal di dalamnya serta ditimpa kemurkaan dan laknat Allah jika mereka tidak bertobat sebelum ajalnya.

QS. Al-Isra (17:33)

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا

33. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.

Tafsir Jalalain

(Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kepada wali si terbunuh) yakni para ahli warisnya (kekuasaan) terhadap si pembunuhnya (tetapi janganlah ahli waris itu berlebihan-lebihan) melampaui batas (dalam membunuh) seumpamanya ahli waris itu membunuh orang yang bukan si pembunuh atau ia membunuh si pembunuh dengan cara yang lain. (Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.)

Tafsir Tahlili Kemenag

1. Pembunuhan menimbulkan kerusakan. Islam melarang setiap tindakan yang menimbulkan kerusakan. Larangan itu berlaku umum untuk segala macam tindakan yang menimbulkan kerusakan, maka pembunuhan pun termasuk tindakan yang terlarang. Allah swt berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ

...janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. (al-A‘rāf7: 85)

2. Pembunuhan itu membahayakan orang lain. Ketentuan pokok dalam agama ialah semua tindakan yang menimbulkan mudarat bagi diri sendiri dan orang lain itu terlarang. Allah swt berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًاۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ

...bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. (al-Mā’idah5: 32)

Rasulullah saw bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا عِنْدَ اللّٰهِ أَهْوَنُ مِنْ قَتْلِ مُسْلِمٍ (رواه الترمذي عن عبد الله بن عمر)

Hilangnya dunia bagi Allah lebih rendah nilainya dibanding membunuh seorang muslim. (Riwayat at-Tirmiżī dari ‘Abdullāh bin ‘Umar)

3. Mengganggu keamanan masyarakat yang membawa kepada musnahnya masyarakat itu sendiri. Karena apabila pembunuhan diperbolehkan, tidak mustahil akan terjadi tindakan saling membunuh di antara manusia, yang pada akhirnya manusia itu akan binasa.

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا ٩٣ (النساۤء)

Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya. (an-Nisā’4: 93)

Dalam ayat ini Allah swt memberikan pengecualian siapa yang boleh dibunuh melalui firman-Nya, “melainkan dengan sesuatu alasan yang dibenarkan agama.” Di antaranya ialah pria atau wanita yang berzina setelah terikat dalam hukum akad pernikahan dan orang yang dengan sengaja membunuh orang beriman yang dilindungi hukum.

Pengecualian seperti tersebut di atas, disebutkan dalam hadis Nabi:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلاَّ اللّٰهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: اَلنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ. (رواه البخاري ومسلم عن عبد الله)

Tidak halal darah orang yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, kecuali karena salah satu dari tiga perkara: Orang dibunuh karena ia membunuh, janda atau duda yang berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari kaum Muslimin. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Abdullāh)

Kemudian Allah swt menjelaskan tindakan apa yang harus dilakukan oleh ahli waris dari yang terbunuh, dan siapa yang harus melaksanakan tindakan itu apabila secara kebetulan si terbunuh itu tidak mempunyai ahli waris.

Allah swt menetapkan bahwa barang siapa yang dibunuh secara zalim, yakni tanpa alasan yang benar, maka Allah telah memberikan kewenangan atau hak kepada ahli warisnya untuk menentukan pilihan hukuman bagi si pembunuh, yaitu antara hukum qiṣaṣ atau menerima diyat (tebusan), seperti yang telah ditetapkan dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. (al-Baqarah2: 178). (lebih lanjut lihat penafsiran ayat ini pada jilid I).

Dan sabda Nabi Muhammad saw ketika penaklukan kota Mekah:

مَنْ قَتَلَ قَتِيْلًا فَأَهْلُهُ بَيْنَ خَيْرَتَيْنِ، إِنْ أَحَبُّوْا قَتَلُوْا وَإِنْ أَحَبُّوْا أَخَذُوْا الدِّيَةَ. (رواه أبو داود والنسائي عن أبي شريح الخزاعي)

Barang siapa membunuh, maka keluarga yang terbunuh diberi hak memilih antara dua hal, apabila mereka mau, mereka dapat menuntut hukuman bunuh, dan bila mereka mau, mereka dapat menuntut diyat (tebusan). (Riwayat Abū Dāwud dan an-Nasā’ī dari Abū Syuraih al-Khuzā’ī)

Kemudian apabila secara kebetulan yang terbunuh tidak mempunyai ahli waris, maka yang bertindak menggantikan kedudukannya dalam menentukan pilihan hukuman ialah penguasa. Dalam hal ini penguasa boleh melimpahkan kekuasaannya kepada para qaḍi (hakim) setempat, apabila dipandang perlu.

Dalam melaksanakan qiṣaṣ, para penguasa yang diberi wewenang untuk melaksanakannya diperintahkan untuk tidak melampaui batas yang ditentu-kan, seperti yang telah terjadi di zaman Jahiliah. Orang-orang di zaman Jahiliah tidak puas dengan hanya menuntut balas dengan kematian orang yang membunuh, akan tetapi menuntut pula kematian orang lain, apabila yang terbunuh dari kalangan bangsawan. Kalau yang terbunuh itu seorang bangsawan, sedang yang membunuh dari kalangan biasa, maka yang dituntut kematiannya dari kalangan bangsawan juga sebagai pengganti diri si pembunuh.

Pada ayat 178 Surah al-Baqarah terdapat isyarat yang kuat bahwa hukuman yang paling utama bagi keluarga si terbunuh adalah cukup dengan menuntut diyat atau memaafkan, bukan menuntut balas kematian.

Di akhir ayat, Allah swt menjelaskan bahwa ahli waris atau penguasa dalam melaksanakan hukuman kisas tidak boleh melampaui batas karena mereka mendapat pertolongan Allah, berupa pembalasan untuk memilih hukuman kisas atau hukuman diyat. Oleh sebab itu, para hakim hendaknya berpedoman pada ketentuan tersebut dalam memutuskan perkara. Jangan sampai memutuskan perkara yang bertentangan dengan peraturan Allah atau melebihi ketentuan yang berlaku.

Ayat ini tergolong ayat Makkiyah dan termasuk dalam bagian ayat hukum yang pertama diturunkan. Dengan demikian, wajar apabila ayat ini hanya mengatur hukum bagi pembunuhan secara garis besarnya saja. Adapun keterangan secara terperinci diatur dalam ayat-ayat yang lain, yang penafsirannya telah dikemukakan pada jilid I.

Topik "Hukum Membunuh Muslim" menunjukkan bagian penting dari tema "Bunuh", yang mengajarkan nilai-nilai iman, ketaatan, dan pemahaman terhadap wahyu Ilahi.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url