Larangan Menggunjing Orang Lain - Gunjing Dalam Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an, tema Gunjing salah satunya dijelaskan melalui topik Larangan Menggunjing Orang Lain, yang tercermin dari ayat-ayat berikut ini lengkap dengan terjemah dan tafsir Jalalain serta Tahlili Kemenag.
QS. Al-Hujurat (49:11)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Tafsir Jalalain
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olokan) dan seterusnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamim sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti Ammar bin Yasir dan Shuhaib Ar-Rumi. As-Sukhriyah artinya merendahkan dan menghina (suatu kaum) yakni sebagian di antara kalian (kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olokkan lebih baik dari mereka yang mengolok-olokkan) di sisi Allah (dan jangan pula wanita-wanita) di antara kalian mengolok-olokkan (wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari wanita-wanita yang mengolok-olokkan dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri) artinya, janganlah kalian mencela, maka karenanya kalian akan dicela; makna yang dimaksud ialah, janganlah sebagian dari kalian mencela sebagian yang lain (dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti, hai orang fasik, atau hai orang kafir. (Seburuk-buruk nama) panggilan yang telah disebutkan di atas, yaitu memperolok-olokkan orang lain mencela dan memanggil dengan nama julukan yang buruk (ialah nama yang buruk sesudah iman) lafal Al-Fusuuq merupakan Badal dari lafal Al-Ismu, karena nama panggilan yang dimaksud memberikan pengertian fasik dan juga karena nama panggilan itu biasanya diulang-ulang (dan barang siapa yang tidak bertobat) dari perbuatan tersebut (maka mereka itulah orang-orang yang lalim.)
Tafsir Tahlili Kemenag
مَثلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ. (رواه مسلم وأحمد عن النعمان بن بشير)
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula. (Riwayat Muslim dan Aḥmad dari an-Nu‘mān bin Basyīr)
اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلٰى صُوَرِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ اِلٰى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ. (رواه مسلم عن ابي هريرة)
Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbua-tanmu. (Riwayat Muslim dari Abū Hurairah)
Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Allah melarang kaum mukmin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.
Ibnu Jarīr meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbās dalam menafsirkan ayat ini, menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah pada masa mudanya mengerjakan suatu perbuatan yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik. Itu sebabnya Allah melarang memanggil dengan panggilan dan gelar yang buruk.
Adapun panggilan yang mengandung penghormatan tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan aṣ-Ṣiddīq, kepada ‘Umar dengan al-Fārūq, kepada ‘Uṡmān dengan sebutan Żū an-Nūrain, kepada ‘Ali dengan Abū Turāb, dan kepada Khālid bin al-Walīd dengan sebutan Saifullāh (pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari Kiamat.
QS. Al-Hujurat (49:12)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Tafsir Jalalain
(Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa) artinya, menjerumuskan kepada dosa, jenis prasangka itu cukup banyak, antara lain ialah berburuk sangka kepada orang mukmin yang selalu berbuat baik. Orang-orang mukmin yang selalu berbuat baik itu cukup banyak, berbeda keadaannya dengan orang-orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka tiada dosa bila kita berburuk sangka terhadapnya menyangkut masalah keburukan yang tampak dari mereka (dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain) lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya (dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain) artinya, janganlah kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun hal itu benar ada padanya. (Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?) lafal Maytan dapat pula dibaca Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan. (Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya) maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. (Dan bertakwalah kepada Allah) yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan ini (sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat) yakni selalu menerima tobat orang-orang yang bertobat (lagi Maha Penyayang) kepada mereka yang bertobat.
Tafsir Tahlili Kemenag
Imam al-Baihaqī dalam kitabnya Syu‘abul Īmān meriwayatkan sebuah aṡar dari Sa‘īd bin al-Musayyab sebagai berikut:
كَتَبَ اِلَيَّ بَعْضُ اِخْوَانِى مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَنِّعْ أَمْرَ أَخِيْكَ عَلَى أَحْسَنِهِ مَا لَمْ يَأْتِكَ مَا يَغْلِبُكَ وَلاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ شَرًّا وَأَنْتَ تَجِدُ لَهُ فِى الْخَيْرِ مَحْمَلاً وَمَنْ عَرَضَ نَفْسَهُ لِلتُّهَمِ فَلاَ يَلُوْمَنَّ اِلاَّ نَفْسَهُ وَمَنْ كَتَمَ سِرَّهُ كَانَتِ الْخِيْرَةُ فِى يَدِهِ وَمَا كَافَأْتَ مَنْ عَصَى الله تَعَالَى فِيْكَ بِمِثْلِ أَنْ تُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ وَعَلَيْكَ بِاِخْوَانِ الصِّدْقِ فَكُنْ فِى اكْتِسَابِهِمْ فَاِنَّهُمْ زِيْنَةٌ فِى الرَّخَاءِ وَعُدَّةٌ عِنْدَ عَظِيْمِ اْلبَلاَءِ وَلاَ تَتَهَاوَنْ بِالْحَلْفِ فَيُهِيْنَكَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ تَسْأَلَنَّ عَمَّا لَمْ يَكُنْ حَتَّى يَكُوْنُ وَلاَ تَضَعْ حَدِيْثَكَ اِلاَّ عِنْدَ مَنْ يَشْتَهِيْهِ وَعَلَيْكَ بِالصِّدْقِ وَاِنْ قَتَلَكَ وَاعْتَزِلْ عَدُوَّكَ وَاحْذَرْ صَدِيْقَكَ اِلاَّ الاَمِيْنَ وَلاَ اَمِيْنَ اِلاَّ مَنْ خَشِيَ اللهَ وَشَاوِرْ فِى اَمْرِكَ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ. (رواه البيهقي)
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyam-paikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, “Kerjakanlah urusan saudaramu dengan sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu urusan yang mengalahkanmu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, jika engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu. Siapa yang menempatkan dirinya di tempat tuduhan buruk, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan siapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan kemaksiatan seseorang kepada Allah pada diri kamu, tidak akan mengimbangi ketaatanmu kepada Allah pada orang tersebut. Hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu, kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.” (Riwayat al-Baihaqī)
Kemudian Allah menerangkan bahwa orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari prasangka karena sebagian prasangka itu me-ngandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukmin mencari-cari kesalahan, kejelekan, noda, dan dosa orang lain.
Abū Hurairah meriwayatkan sebuah hadis sahih sebagai berikut:
اِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَاِنَّ الظَّنَّ اَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُونُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. (رواه البخاري عن أبي هريرة)
Jauhilah olehmu berburuk sangka, karena berburuk sangka itu termasuk perkataan yang paling dusta. Dan jangan mencari-cari kesa-lahan orang lain, jangan buruk sangka, jangan membuat rangsangan dalam penawaran barang, jangan benci-membenci, jangan dengki-mendengki jangan belakang-membelakangi, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Riwayat al-Bukhārī dari Abū Hurairah)
Diriwayatkan pula oleh Aḥmad dari Abū Barzah al-Aslamī, Rasulullah saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ اٰمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَّتَّبِعْ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ. (رواه أحمد عن أبي برزه الأسلمى)
Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk ke dalam hatinya, jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum muslim, dan jangan sekali-kali mencari-cari aib-aib mereka. Karena siapa yang mencari-cari aib kaum muslim, maka Allah akan membalas pula dengan membuka aib-aibnya. Dan siapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehor-matannya dalam rumahnya sendiri.” (Riwayat Aḥmad dari Abū Barzah al-Aslamī)
Imam aṭ-Ṭabrānī meriwayatkan sebuah hadis dari Ḥāriṡah bin an-Nu‘mān:
ثَلاَثٌ لاَزِمَاتٌ ِلأُمَّتِى الطَّيْرَةُ وَالْحَسَدُ وَسُوْءُ الظَّنِّ فَقَالَ رَجُلٌ مَا يُذْهِبُهُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ مِمَّنْ هُنَّ فِيْهِ؟ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا حَسَدْتَ فَاسْتَغْفِرِ الله َوَاِذَا ظَنَنْتَ فَلاَ تُحَقِّقْ وَاِذَا تَطَيَّرْتَ فَامْضِ. (رواه الطبرانى عن حارثة بن النعمان)
Ada tiga perkara yang tidak terlepas dari umatku, yaitu anggapan sial karena sesuatu ramalan, dengki, dan buruk sangka. Maka bertanya se-orang sahabat, “Ya Rasulullah, apa yang dapat menghilangkan tiga perkara yang buruk itu dari seseorang?” Nabi menjawab, “Apabila engkau hasad (dengki), maka hendaklah engkau memohon ampun kepada Allah. Dan jika engkau mempunyai buruk sangka, jangan dinyatakan, dan bilamana engkau memandang sial karena sesuatu ramalan maka lanjutkanlah tujuanmu.” (Riwayat aṭ-Ṭabrānī dari Ḥāriṡah bin an-Nu‘mān)
Abū Qilābah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada ‘Umar bin Khaṭṭāb, bahwa Abū Miḥjan aṣ-Ṣaqafī minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah ‘Umar ke rumahnya kemudian masuk ke dalam, tetapi tidak ada seorang pun di rumah kecuali seorang Abū Miḥjan sendiri. Maka Abū Miḥjan berkata, “Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu untuk mencari-cari kesalahan orang lain.” Kemudian ‘Umar keluar dari rumahnya.
Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain. Yang dinamakan gībah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak berada di tempat itu, baik dengan ucapan atau isyarat, karena yang demikian itu menyakiti orang yang diumpat. Umpatan yang menyakitkan itu ada yang terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.
Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiga-nya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu gībah, ifk, dan buhtān. Gībah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifk adalah menyebut-nyebut seseorang me-ngenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtān atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu‘āwiyah bin Qurrah berkata kepada Syu‘bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing.”
Allah mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya? Tentu saja kita akan merasa jijik memakannya. Oleh karena itu, jangan menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati, sebagaimana kita tidak menyukai yang demikian itu, dalam syariat hal itu juga dilarang.”
‘Alī bin al-Ḥusain mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata, “Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk-pauk manusia.”
Nabi dalam khotbahnya pada haji wada’ (haji perpisahan) bersabda:
اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هٰذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هٰذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هٰذَا. (رواه البخاري ومسلم عن ابن عباس)
Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Ibnu ‘Abbās)
Allah menyuruh kaum mukmin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat. Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu, dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:
1. Dalam rangka kezaliman agar dapat dibela oleh orang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
2. Jika dijadikan bahan untuk mengubah suatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
3. Di dalam mahkamah, orang yang mengajukan perkara boleh mela-porkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
4. Memberi peringatan kepada kaum muslim tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah orang yang mempunyai cacat budi pekerti, atau mempunyai penyakit yang menular.
5. Bila orang yang digunjingkan itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum minuman keras di hadapan khalayak ramai.
6. Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti ‘awar (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.
Topik "Larangan Menggunjing Orang Lain" menunjukkan bagian penting dari tema "Gunjing", yang mengajarkan nilai-nilai iman, ketaatan, dan pemahaman terhadap wahyu Ilahi.