Mina: Perjalanan Pulang ke Hati

Mina: Perjalanan Pulang ke Hati

Hari ini, jemaah haji berdiri di Mina untuk melempar jumrah terakhir. Di bawah langit 13 Zulhijah, lemparan penutup ini menjadi tanda bagi mereka yang telah melewati Nafar Tsani. Ini adalah ujung dari jutaan langkah kaki dan awal dari jutaan cahaya hati.

Bayangan pulang ke Tanah Air mulai terngiang. Namun, pulang ke dalam diri jauh lebih penting. Menemukan kembali jiwa yang ringan, yang lebih tenang dan (insyaallah) yang lebih bersih. Karena haji bukan tentang kembali ke rumah, tetapi kembali ke hati – hati yang mungkin telah lama kita tinggalkan.

Dulu, Nabi Muhammad SAW juga pernah di sini, Mina. Bermalam bersama sahabat dalam tenda-tenda sederhana. Beliau melempar jumrah dengan tangan penuh doa, wajah penuh cahaya.

Setiap pagi, beliau menenangkan para sahabat agar tidak tergesa-gesa. Memastikan ketenangan, bersiap menyambut cahaya Allah SWT. Karena ibadah bukan tentang cepat, tetapi tentang hadir, tentang sadar, tentang melepas satu persatu yang memberatkan.

Cahaya Masjid Khaif dan Spirit Lempar Jumrah

Di Mina, penulis sempat singgah di Masjid Khaif – tempat mulia nan tua tempat Rasulullah pernah berkhutbah. Khutbah perpisahan yang menggetarkan bumi, bertitah tentang kesucian darah, tentang amanah, dan tentang akhir zaman.

Masjid Khaif bukan masjid biasa. Ia pernah jadi tempat sujud Nabi Musa, tempat air mata Nabi Harun, tempat singgah para nabi sebelum kita. Ada jejak langit di lantainya, ada wangi kenabian di tiangnya. Menggambarkan kuatnya narasi kenabian. Semua jemaah haji mendambakan tempat itu.

Hari ini, masjid itu dipenuhi jemaah. Ada yang menunduk dalam zikir, ada yang diam dalam doa, ada yang membaca Al-Qur'an, ada yang tertidur kelelahan, dan ada yang menangis sendiri. Hati mereka tersentuh dalam-dalam.

Di luar, jutaan jemaah bergerak menuju jamarat – menuju tempat iblis pernah dilawan. Bukan kisah dongeng, tetapi kisah batin. Karena yang kita lempar bukan setan luar, tetapi setan dalam, nafsu kita sendiri.

Nabi Ibrahim pernah digoda di titik itu saat hendak menyembelih Ismail. Iblis membisiki, "Jangan lakukan." Tapi beliau melempar, dengan batu, dengan iman, dengan tekad.

Hari ini, kita ulangi lemparan itu. Setiap batu adalah pelepasan amarah, kesombongan, dan kerakusan. Masing-masing ada tujuh batu, masing-masing untuk tiga titik pilar jumrah (Sughra, Wustha, Kubra). Ini cerita soal dua puluh satu pengakuan tentang kelemahan kita di mata Allah SWT. Tapi melalui Mina, kita ingin bangkit, agar Mina tetap hidup di hati.

Di jalanan Mina, langkah jemaah bersuara lembut. Takbir menggema pelan. Wajah-wajah lelah, tapi hati terasa damai. Karena kita tahu: Ini bukan sekadar ibadah, ini adalah pembersihan dan juga tentang hati dan jiwa yang baru.

Mina Tetap di Hati

Jemaah haji, masih muda menggandeng ayahnya yang renta, ada istri yang menggenggam tangan suaminya, ada lelaki tua menangis sendiri, menggenggam batu yang gemetar, hanya untuk ridha dari Allah semata. Deretan tenda putih di Mina, bukan sekadar tempat berteduh. Mereka adalah saksi atas malam-malam penuh renungan, atas hati-hati yang akhirnya bicara.

Di sana, tak ada kasta, tak ada yang layak dibanggakan, hanya manusia yang lemah di hadapan Sang Rabb. Dulu, Rasulullah juga tidur di tenda seperti itu. Tak mewah, tak istimewa, tapi penuh cinta, penuh kesederhanaan. Karena haji bukan tentang fasilitas, tetapi tentang ketundukan, ketulusan, dan keikhlasan.

Saat jumrah terakhir dilempar, langit terasa lebih dekat, hati terasa lebih lapang. Karena tahu, yang kita lawan adalah diri sendiri, dan kita menang. Meskipun sedikit, meskipun perlahan.

Hari ini, ketika matahari zawal, tanda perpisahan dengan Mina tiba. Langkah mulai bergerak pulang. Tapi hati tak ingin pergi, karena Mina telah menjadi rumah kita.

Di sini, kita bukan hanya menjalani ibadah. Kita jatuh cinta, kita belajar berserah, kita menemukan cahaya. Mina adalah saksi ny. Jangan tinggalkan Mina begitu saja, bawalah ke dalam dadamu. Bangun tenda Mina di hatimu. Jadikan egomu sebagai sasaran jumrah setiap pagi. Jadikan ambisimu sebagai hewan kurban yang kau sembelih dengan ikhlas.

Jadikan hatimu Masjid Khaif. Tempat zikir, tempat tangis, tempat diam, tempat engkau dan Allah saling menatap tanpa kata. Mina bukan sekadar nama, ia adalah perjalanan pulang. Ia adalah panggilan cinta. Ia adalah tempat kita berjanji: "Ya Allah, mulai hari ini, bukan aku yang hidup, tetapi Engkau dalam diriku." Dan itulah haji, itulah Mina, itulah awal kehidupan hati.

Wardi Taufik

Sekretaris Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama

Ketua Pelaksana LSP Pariwisata Syariah Indonesia Bidang Haji dan Umrah

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url