Perjalanan Menuju Makkah: Lebih dari Sekadar Perjalanan Geografis
Perjalanan Menuju Makkah: Lebih dari Sekadar Perjalanan Geografis
Sembilan jam perjalanan udara dari tanah air menuju Jeddah hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan yang sesungguhnya. Sebab yang lebih dalam dari itu adalah perjalanan batin yang menyertai setiap langkah menuju Makkah. Dengan mengenakan ihram-simbol kesucian, kesederhanaan, dan kefanaan-seorang hamba seakan diajak untuk kembali merenungi hakikat keberadaan: dari tanah ia berasal, dari jiwa ia dibentuk, dan kepada janji awal di hadapan Sang Pencipta ia dituntun untuk kembali. Makkah bukan hanya sebuah kota. Ia adalah ruang suci tempat Allah Subhanahu wa Ta'ala menjawab kerinduan para hamba-Nya, tempat bumi menyimpan sejarah awal manusia mencari makna hidup, dan tempat air mata para pencari Tuhan dibasuh dengan ampunan. Di lembah ini, jejak ketaatan Nabi Ibrahim AS, keikhlasan istrinya Hajar, dan ketundukan putranya Ismail tercatat abadi sebagai awal dari sebuah peradaban tauhid. Dari sanalah Allah menegaskan kedudukan Makkah dalam firman-Nya: > "إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ" > "Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat ibadah) manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam." Ka'bah adalah rumah pertama yang dibangun untuk manusia-bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai poros orientasi ruhani. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa "أول بيت وضع للناس" bermakna bahwa rumah ibadah pertama yang ditetapkan Allah untuk seluruh umat manusia adalah Ka'bah di Bakkah (Makkah), yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi alam semesta. Di sana manusia diperintahkan untuk thawaf, shalat, dan beribadah. Ia dibangun oleh Nabi Ibrahim atas perintah Allah, meski kaum Yahudi dan Nasrani mengaku sebagai pengikutnya, mereka tidak menunaikan ibadah haji ke rumah yang didirikan oleh bapak tauhid tersebut. Maka Ka'bah bukan sekadar tempat ibadah, tetapi merupakan simbol kembalinya umat manusia kepada satu Tuhan dan satu arah penghambaan. Di sana pula terdapat Maqam Ibrahim, batu tempat Nabi Ibrahim berdiri saat membangun Ka'bah. Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa keberkahan Ka'bah bukan hanya karena tempatnya, tetapi karena perintah Ilahi, sejarahnya, dan keberadaan tanda-tanda nyata di dalamnya-salah satunya adalah maqam itu sendiri. Batu tersebut menjadi saksi sejarah keteguhan seorang hamba dalam menjalankan perintah Tuhannya, meski harus menentang rasa dan logika dunia. Maka, setiap langkah menuju Makkah bukanlah sekadar perjalanan geografis, melainkan ziarah ruhani menuju ketulusan Ibrahim, kesabaran Hajar, dan keikhlasan Ismail dalam menjawab panggilan langit.Allah juga berfirman: > "وَمَن دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا" > "Siapa yang memasukinya, dia menjadi aman." (QS. Ali 'Imran: 97) Keamanan yang dijanjikan tidak sekadar fisik, tapi juga batin. Di hadapan Ka'bah, semua identitas duniawi runtuh. Tak ada gelar, jabatan, atau garis keturunan-yang tersisa hanyalah manusia dalam bentuk paling jujurnya: rapuh, berharap, dan sangat membutuhkan ampunan dan penerimaan dari Sang Pemilik Rumah.
Kemudian Allah menegaskan: > "وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا" > "Dan bagi Allah-lah kewajiban manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." Menurut Tafsir at-Thabari, makna "من استطاع إليه سبيلا" dijelaskan oleh banyak sahabat dan tabi'in sebagai kemampuan yang mencakup bekal dan kendaraan (الزاد والراحلة). Umar bin Khattab, Ibnu Abbas, dan sejumlah ulama besar meriwayatkan bahwa kemampuan ini adalah ketika seseorang memiliki kesehatan tubuh serta ongkos perjalanan tanpa menimbulkan kesulitan besar bagi dirinya dan keluarganya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri menegaskan saat ditanya oleh para sahabat, "Apa yang dimaksud dengan kemampuan (السبيل)?" Beliau menjawab, "الزاد والراحلة"-bekal dan kendaraan.
Namun at-Thabari juga mengutip pendapat lain bahwa kemampuan itu bisa juga berarti kesanggupan secara fisik, bahkan jika harus berjalan kaki, selama tidak ada penghalang seperti penyakit, kezaliman, atau bahaya di jalan. Maka esensi dari "kemampuan" dalam ayat ini bukan hanya persoalan logistik, tetapi mencakup kesiapan jiwa, raga, dan situasi yang memungkinkan untuk memenuhi panggilan agung ini.
Lalu Allah mengakhiri ayat ini dengan peringatan: > "وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ" > "Dan barang siapa yang mengingkari (kewajiban ini), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari seluruh alam."
Dalam tafsir at-Thabari, makna "kufur" di sini ditafsirkan sebagai bentuk penolakan terhadap kewajiban haji oleh orang yang telah mampu menunaikannya, baik secara finansial maupun fisik. Ini bukan semata tidak melaksanakan haji karena alasan yang sah, tapi mengingkari kewajibannya, tidak menganggapnya penting, atau tidak mempercayainya sebagai bagian dari syariat. Maka siapa pun yang menyangkal kewajiban haji atau menganggapnya tidak bernilai, dia termasuk dalam peringatan ini. At-Thabari menutup tafsir ayat ini dengan satu kesimpulan kuat: Allah tidak membutuhkan haji, amal, atau penghambaan kita. Justru manusia lah yang membutuhkan haji untuk menyucikan jiwa, memperbaharui janji, dan kembali ke fitrah. Maka siapa pun yang berpaling, sesungguhnya ia berpaling dari dirinya sendiri. Dan siapa yang menunda-nunda dengan kelalaian, bisa jadi sedang memalingkan diri dari panggilan cinta paling agung. Perjalanan ke Makkah adalah panggilan kepada setiap manusia untuk kembali menjadi manusia. Ia mengajak kita menelusuri ulang jejak Ibrahim yang meninggalkan negeri dan anak-istrinya demi ketaatan, meneladani Hajar yang berlari tanpa lelah demi kehidupan, dan meniru Ismail yang bersedia menyerahkan segalanya demi ridha Tuhan. Makkah bukan hanya tempat ibadah. Ia adalah titik balik. Titik di mana manusia kembali jujur terhadap dirinya sendiri: bahwa kita rapuh, bahwa dunia ini fana, dan bahwa ada rumah abadi yang sedang menanti. Semoga setiap langkah ke Makkah menjadi pengingat bahwa hidup ini adalah perjalanan pulang. Dan semoga, seperti Ibrahim, kita semua berani menjawab panggilan Tuhan dengan sepenuh hati: Labbaikallahumma labbaik.Puji Raharjo Soekarno Penulis adalah Deputi Koordinasi Layanan Haji Dalam Negeri Baran Penyelenggara Haji RI/Ketua Tanfidziyah PWNU Lampung Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terima kasih - Redaksi)