Wacana Haji Jalur Laut: Membuka Lukiskan Sejarah Perhajian Indonesia

Wacana Haji Jalur Laut: Membuka Lukiskan Sejarah Perhajian Indonesia

Wacana haji lewat jalur laut kembali mencuat, meskipun belum ada pembahasan resmi dari pemerintah. Wacana ini membawa kita pada panorama sejarah perhajian Indonesia yang unik dan menarik, di mana jalur laut pernah menjadi rute transportasi utama bagi calon haji dari Nusantara.

Sejarah mencatat bahwa perjalanan haji melalui jalur laut telah terjadi jauh sebelum era pesawat terbang, bahkan sejak zaman Hindia Belanda.

Jejak Perjalanan Haji Lewat Jalur Laut

Berdasarkan arsip data statistik haji tahun 1949-2014 dari Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, jalur laut menjadi metode utama transportasi haji bagi jemaah Indonesia hingga tahun 1974.

Kapal di Laut

Jalur utama yang digunakan adalah melalui pelabuhan di Aceh, di mana jemaah kemudian naik kapal menuju India, Hadramaut, atau Pelabuhan Aden sebelum akhirnya tiba di Pelabuhan Jeddah. Perjalanan ini membutuhkan waktu selama enam bulan atau lebih.

Pada abad ke-18, jemaah mulai memanfaatkan pelabuhan di pesisir Jawa. Meskipun belum ada kapal khusus perjalanan haji, kapal dagang menjadi pilihan transportasi. Transit di Pelabuhan Aden tetap menjadi kelanjutan perjalanan haji via jalur laut.

Pergeseran Pelabuhan dan Kausalitasnya

Munculnya bandar dagang VOC Belanda di Batavia mengubah landscape pelayaran haji. Banyak kapal dari Arab, China, dan Eropa lalu lalang di Batavia, beberapa menjadi 'tebengan' calon jemaah haji Nusantara.

Peningkatan jumlah jemaah haji dari Jawa di abad ke-19 mendorong Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengeluarkan aturan ketat. Calon jemaah haji wajib memiliki surat jalan (reispass) yang bisa dipesan melalui kantor bupati dengan biaya yang cukup mahal untuk era itu.

Era ini juga menandai penggunaan kapal khusus angkutan jemaah haji untuk pertama kalinya. Saudagar Arab mulai membuka biro perjalanan haji sejak pertengahan abad ke-19. Kapal layar dari Nusantara pada tahun 1850-an mengangkut 200-250 calon jemaah haji menuju Pelabuhan Jeddah sebelum berlayar menuju Makkah.

Era Kapal Uap dan Terusan Suez

Tingkat mobilitas jemaah haji yang signifikan menarik penggarap bisnis lain. Orang Inggris dan Arab berpartisipasi dalam industri angkutan haji. Pada tahun 1858, sebuah kapal uap Inggris membuka layanan pelayaran jemaah haji melalui Batavia.

Pergeseran menuju kapal uap menjadi semakin signifikan setelah dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869. Kapal layar pun ditinggalkan karena waktu tempuhnya terlalu lama, digantikan oleh kapal uap yang lebih cepat. Pada tahun 1872, pemerintah Belanda pun membuka kantor konsulat haji di Jeddah untuk memantau jemaah Hindia Belanda.

Kapal-kapal jemaah haji pada saat itu menyediakan layanan yang relatif lengkap, mulai dari konsumsi hingga layanan kesehatan.

Masa Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan ibadah haji berada di bawah naungan Departemen Agama Republik Indonesia. Pemberangkatan dan pemulangan jemaah haji tetap menggunakan jalur laut. Transportasi udara baru digunakan pada tahun 1952 dan transportasi laut terakhir beroperasi pada tahun 1974, membawa 6.578 jemaah haji.

Wacana haji jalur laut kembali mencuat, menumbuhkan introspeksi dan apresiasi terhadap sejarah perhajian Indonesia yang penuh dengan keunikan dan dinamika.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak