Pengembaraan Ilmu Ima Syafi’i
Perjalanan Imam Syafi’i Menuntut Ilmu ke Madinah
Setelah imam Syafi’i mengambil ilmu dari guru-gurunya Mekah, beliau bermaksud mempelajari ilmu ulama-ulama Madinah. Pada waktu itu imam Syafi’i mendengar tentang keagungan Imam Malik bin Anas. Terbesit dalam hati beliau untuk pergi belajar kepada Imam Malik. Sebelum itu imam Syafi’i meminjam kitab “Al-Muwattha" untuk menghafalnya. Hanya dalam waktu 9 hari beliau telah menghafal “Al-Muwattha’” sepenuhnya.
Setelah sampai disana, dihadapan imam Malik, imam syafi’i membaca kitab Al-Muwattha’ dari hafalan beliau, hal itu membuat imam Malik kagum, sehingga imam Malik meminta imam Syafi’i untuk membaca. Sejak saat itu Imam Syafi’i terus bersama imam Malik sebagai murid dan guru. Imam malik berkata: “bertakwalah kepda Allah, karena kamu akan memiliki kedudukan”. Dalam riwayat lain imam Malik berkata: “Allah telah meletakkan nur (cahaya) dalam hati engkau, jangn engkau padamkan dengan bermaksiat”.
Imam Syafi’i menetap di Madinah hingga Imam Malik wafat. Imam Syafi’ berkata: “ Kalau bukan karena Imam Malik dan Sufyan, sungguh telah hilang ilmu ahli Hijaz”, beliau juga berkata : “ Aku tidak tahu setelah kitab Allah ada kitab yang lebih shahih daripada Muwattha’”.
Perjalanan Imam Syafi’i Ke Yaman
Gubernur Yaman, Hammad Al-Barbari menziarahi Hijaz. Beberapa orang quraisy bebicara dengan Himad untuk membawa Imam Syafi’i bersamanya ke Yaman, dan dia menerimanya. Ketika keduanya sampai di Yaman Hammad meminta imam Syafi’i bekerja untuk melihat kemampuan imam Syafi’i. Imam Syafi’i berusah bekerja dengan sungguh-sungguh hingga mendapat pujian dan menjadi terkenal. Setelah itu imam Syafi’i diangkat menjadi Qadhi (hakim) di Najran. Disebabkan fitnah pendengki, imam Syafi’i ditangkap oleh Khalifah Harun Al-Rasyid bersama orang-orang yang dituduh memberontak, dibawa ke Baghdad dengan rantai besi di tangan dan kakinya.
Di Yaman, imam syafi’i belajar dengan Hisyam bin Yusuf, qadhi wilayah Shan’a.
Perjalanan Imam Syafi’i ke Iraq
Pada tahun 184 H imam Syafi’i dibawa ke Iraq dalam keadaan dirantai disebabkan tuduhan memberontak kepada khalifah Harun Al-Rasyid. Ada mengatakan kepada Harun Al-Rasyid : anak keturunan Syafi’ dari bani Muthallib lisannya mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh prajurit dengan pedangnya. Karena itu, ketika sampai di Iraq, Imam Syafi’i dibawa menemui Harun Al-Rasyid. Disana imam Syafi’i diintrogasi, namun imam Syafi’i membela diri dengan sangat baik hingga membuat Harun Al-Rasyid kagum dengan ilmu, kemuliaan, dan kefasihan imam Syafi’i. Maka, nampaklah kepada Harun Al-Rasyid bahwa imam Syafi’i tidak bersalah sehingga beliau dilepaskan.
Mungkin saja hikmah dibalik ujian ini adalah Allah ingin imam Syafi’i kembali fokus pada ilmu daripada kekuasaan. Dalam kesempatan ini, imam Syafi’i mempelajari mazhab ahli ra’yi (rasionalis) melaui Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Imam Syafi’i menulis kitab-kitabnya dan berdebat dengannya serta berdebat dengan para sahabatnya dan mempelajari pendapat mereka. Imam Al-Syafi’i berkata: “Aku menghabiskan enam puluh dinar untuk kitab-kitab Muhammad bin Al-Hasan, kemudian aku mempelajarinya, aku meletakkan sebuah hadits di samping setiap masalah”.
Nama imam Syafi’i menjadi terkenal di Iraq, disebut-sebut hingga dikalangan ulama disebbakan kefasihan, kecerdasan, dan keluasan ilmu beliau. Suatu hari, seorang lelaki datang mengabarkan kepada Abu Tsur bahwa telah datang seorang lelaki suku quraisy daripada anak keturunan Abdu Manaf membela mazhab penduduk Madinah. Abu Tsur bekata: “penduduk Madinah punya mazhab untuk dibela?, Mari kita pergi dan mendengarkan apa yang dikatakannya. Maka Abu Tsur pun bangkit bersama para sahabatnya, lalu melihat bahwa ia adalah seorang pemuda yang berlidah tajam . Abu Tsur mendengar imam Syafi’i berkata: Allah SWT berfirman dalam sebuah ayat yang khusus yang artinya umum, dan dalam ayat umum yang artinya khusus. Abu Tsur berkata kepada imam Syafi'i: Semoga Allah merahmatimu, apakah itu khusus yang artinya umum? Dan apakah itu umum yang artinya khusus? Abu Tsur berkata: Kami tidak membedakan antara yang umum dengan yang khusus dan tidak juga antara yang khusus dengan yang umum. Imam Syafi’i menjawab: Allah berfirman :
اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang telah mengumpulkan (pasukan) untuk (menyerang) kamu.” (Ali ‘Imran-173)
Yang dimaksud “An-nas” dalam ayat adalah Abu Sufyan. Dan firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu” (aT-Thalaq-1)
Ayat ini khusus tetapi yang dimaksud umum.
Karena kehebatan apa yang dilihat oleh penduduk Irak dari Imam Syafi’i, maka kelompok-kelompok ahli hadis dan fikih pun bergegas untuk bergabung dengannya. Imam Al-Karabisi berkata: “Saya tidak pernah melihat suatu majelis yang lebih agung daripada majelis Imam Syafi’i. Di sana hadir para ahli hadis, ahli fikih, dan ahli syair. Para ahli bahasa dan syair yang paling hebat pun datang kepadanya”.
Imam Syafi’i kembali ke Mekah
Imam Syafi’i kembali ke Mekah dengan membawa segudang ilmu fikih ahli ra’yi. Maka, telah lengkaplah padanya dua aliran fikih pada masa itu, yaitu fikih ahli ra’yi (aliran rasional) dan fikih ahli hadist (aliran tekstual). Mulailah imam Syafi’i meninjau kembali ushul dan furu’. Kemudain merumuskan ushulnya sendiri dan menetapkan kaidah. Kala itu, imam Syafi’i kembali mengajar di Masjidil Haram selama kurang lebih sembilan tahun. Halaqah imam Syafi’i menjadi majelis paling ramai di Masjidil Haram. Dan pada periode inilah imam Syafi’i menyusun kitab Al-Risalah.
Perjalanan ke Mesir
Pada tahun 199 H imam Syafi’i pergi ke Mesir dan tinggal bersama paman-paman dari pihak ibunya dari suku Azd. Imam An-Nawawi berkata: “Imam Syafi’i menulis semua kitabnya yang jadid (mazhab jadid) di Mesir, ketenarannya menyebar ke seluruh negeri, orang-orang dari Syam, Yaman, Irak dan dari semua wilayah dan penjuru datang untuk belajar fikih darinya dan meriwayatkan darinya, dan untuk mendengar kitab-kitabnya dan mengambil (ilmu) darinya. Ia menguasai rakyat Mesir dan lainnya, ia menciptakan kitab-kitab (pembahasan-pembahasan baru) yang belum pernah ditulis sebelumnya, antara lain: “Ushul Al-fiqh”, kitab “Al-Qasamah”, kitab “Jizya”, dan kitab Qital ahli Al-Bughah” dan lainnya.”
Harun bin Sa’eed Al-Ayli berkata: “Aku belum pernah melihat seorang pun seperti Al-Syafi’i. Ia datang kepada kami di Mesir, dan mereka berkata: Seorang pria dari Quraisy telah datang, jadi kami mendatanginya saat ia sedang shalat. Aku belum pernah melihat seorang pun yang shalatnya lebih indah darinya, dan aku juga belum pernah melihat seorang pun yang wajahnya lebih rupawan darinya. Ketika ia selesai shalat, ia berbicara, dan kami belum pernah melihat seorang pun yang berbicara lebih indah darinya”