Tantangan dan Solusi dalam Tata Kelola Haji Indonesia
Indonesia dikenal sebagai negara pengirim jemaah haji dan umrah terbesar di dunia. Namun, di balik jumlah jemaah yang besar, terdapat banyak tantangan dalam tata kelola, efisiensi, dan ketahanan layanan ibadah haji.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menemukan bahwa Indonesia membutuhkan reformasi kelembagaan haji dan umrah secara menyeluruh. Salah satu fokus INDEF adalah mengenai kompleksitas pengelolaan dana haji, yang kini mencapai ratusan triliun rupiah.
Ketimpangan Biaya dan Tantangan Investasi
"Pengelolaan dana haji memiliki urgensi yang tinggi karena hasil investasinya digunakan untuk menutup kesenjangan antara Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)," ujar Kepala Center for Sharia Economic and Digital INDEF, Nur Hidayah. Landasan hukum pengelolaan keuangan haji merujuk pada UU No. 34 Tahun 2014 dan PP No. 5 Tahun 2018.
Nur Hidayah menjelaskan, pada tahun 2023, terjadi peningkatan aset dari investasi pada surat berharga dan pembiayaan bagi hasil. Namun, sisi lain, terdapat penurunan 20,09% pada investasi, sementara proporsi investasi emas mulai masuk sebagai diversifikasi baru dengan keuntungan sekitar 12% atau Rp 48 juta.
Pergeseran Tahun Hijriah dan Batas Keberlanjutan
Tantangan semakin kompleks pada 2026 dan 2027. Handi Risza, peneliti INDEF, mengatakan bahwa dua musim haji dalam satu tahun kalender akibat pergeseran tahun Hijriah diperkirakan menambah beban biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) hingga Rp 42 triliun. Hal ini dapat menyusutkan dana kelolaan menjadi Rp 128 triliun dari nominal Rp 170 triliun.
Jika tidak diantisipasi, future liabilities (kewajiban masa depan) bisa mencapai Rp504 triliun.
Kebijakan Berinovasi dari Negara Lain
INDEF berpendapat bahwa Indonesia dapat belajar dari negara lain dalam mengelola ibadah haji secara lebih terstruktur. Misalnya, Malaysia yang sejak 2022 menerapkan sistem subsidi berdasarkan kategori ekonomi masyarakat (B40, M40, T20). Arab Saudi, di sisi lain, menjalankan visi besar dengan digitalisasi, pembangunan infrastruktur masif, dan penerapan platform layanan terpadu Nusuk untuk semua jemaah.
Tawaran Solusi dan Narasi Baru
Murniati Mukhlisin, peneliti senior INDEF, menegaskan pentingnya membangun tata kelola keuangan syariah yang bukan hanya teknis administratif, tapi juga berdampak sosial dan memperkuat ekonomi umat.
“Kita perlu narasi baru dalam pengelolaan keuangan ibadah. Bukan hanya administrasi teknis, tapi penguatan governance dan dampak sosial," tegasnya.
Abdul Hakam Naja, peneliti INDEF lainnya, menambahkan bahwa revisi undang-undang sangat diperlukan. Bahkan, penggabungan UU Haji dan UU Pengelolaan Keuangan Haji dalam satu omnibus law bisa jadi solusi sistemik yang efisien.
Sebagai langkah strategis, penggunaan standar emas sebagai acuan biaya penyelenggaraan ibadah haji juga perlu dipertimbangkan. Mengingat nilai emas cenderung lebih stabil dari waktu ke waktu dibandingkan nilai tukar rupiah, menurut INDEF.
Transformasi Menuju Keunggulan Global
Durch reformasi kelembagaan yang menyeluruh, Indonesia berpotensi tidak hanya sebagai negara pengirim jemaah terbesar, tetapi juga sebagai pelopor dalam pengelolaan dana dan pelayanan haji yang efektif, profesional, dan berkeadilan.
INDEF menekankan, sudah saatnya Indonesia melangkah lebih jauh. Tak sekadar mengurus keberangkatan jemaah, tapi juga menjadikan dana haji sebagai kekuatan ekonomi yang transparan, adil, dan berkelanjutan.
Rekomendasi konkrit INDEF:
- Pembentukan lembaga khusus setingkat kementerian
- Penyusunan Roadmap Haji dan Umrah 2025-2045
- Diversifikasi investasi ke sektor berdampak tinggi, seperti RS syariah, properti halal, dan energi
- Pembentukan Dana Abadi Haji
- Perluasan edukasi digital jemaah, termasuk ke wilayah 3T