Mitos Kesialan Bulan Safar: Benarkah Berdasar Islam?

Mitos Kesialan Bulan Safar: Benarkah Berdasar Islam?

Bulan Safar, bulan kedua dalam kalender Hijriah, seringkali dikaitkan dengan mitos kesialan. Anggapan ini semakin kuat pada hari Rebo Wekasan, yakni hari Rabu terakhir di bulan Safar. Namun, benarkah terdapat larangan khusus dalam ajaran Islam terhadap bulan ini? Mari kita telaah lebih lanjut.

ilustrasi bulan safar

Asal mula kepercayaan bulan Safar sebagai bulan turunnya musibah ternyata berakar dari tradisi masyarakat Arab Jahiliah di masa lampau. Mereka meyakini bahwa hari-hari tertentu di bulan Safar, terutama Rabu terakhir, adalah waktu di mana Allah SWT menurunkan banyak bala bencana. Anggapan ini dijelaskan dalam jurnal berjudul "Agama dan Kepercayaan Masyarakat Melayu Sungai Jambu Kayong Utara terhadap Bulan Safar" karya Wahab dkk yang terbit di Jurnal Mudarrisuna Vol 10 edisi 1 Januari-Maret 2020.

Abdul Hamid dalam "Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shufur", menyatakan bahwa kepercayaan Rebo Wekasan ini bahkan disebut-sebut berasal dari seorang sufi. Selain itu, terdapat sebuah hadits dhaif yang turut memperkuat anggapan ini.

Hadits tersebut berbunyi, “Barang siapa mengabarkan kepadaku tentang keluarnya bulan Safar, maka aku akan memberi kabar gembira kepadanya untuk masuk surga.” Namun, perlu dicatat bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat dalam ajaran Islam.

Apakah bulan Safar benar-benar bulan kesialan?

Dalam ajaran Islam, tidak ada hadits shahih yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Safar, apalagi larangan atau celaan terhadapnya. Hal ini dijelaskan dalam buku "Kalender Ibadah Sepanjang Tahun" karya Abdullah Faqih Ahmad Abdul Wahid. Justru sebaliknya, Rasulullah SAW telah membantah anggapan kesialan pada bulan Safar melalui sabda beliau:

"Tidak ada penyakit menular dan tidak ada tanda atau firasat kesialan dan yang mengherankanku ialah kalimat yang baik dan kalimat yang bagus." (HR Bukhari)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam buku "Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu Al-I'tiqadiyah wa Ash-Shufiyah" karya Sa'id bin Musfir Al-Qahthani (terjemahan Munirul Abidin) menjelaskan bahwa hadits di atas mengandung penolakan tegas terhadap kepercayaan tahayul atau ramalan nasib buruk yang berkembang di masa Jahiliah, termasuk anggapan kesialan di bulan Safar. Beliau menegaskan bahwa tidak ada larangan khusus pada bulan Safar, sebagaimana disiratkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW lainnya:

"Hadits itu mengandung kemungkinan penolakan dan bisa juga larangan. Atau janganlah kamu meramal nasib buruk. Tetapi sabda beliau dalam hadits, 'Tidak ada penyakit menular, tidak ada larangan pada bulan Safar, dan tidak ada kecelakaan yang ditandai oleh suara burung malam' menunjukkan bahwa maksudnya adalah penolakan dan pembatalan masalah-masalah yang diperhatikan pada masa jahiliah."

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa anggapan bulan Safar sebagai bulan kesialan adalah suatu mitos yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan kita untuk tidak percaya pada ramalan buruk atau firasat sial, melainkan selalu bertawakal kepada Allah SWT.

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak