Muzdalifah: Lokasi Peristirahatan Mimbar Sejarah dan Sakral
Muzdalifah: Lokasi Peristirahatan Mimbar Sejarah dan Sakral
Jakarta - Muzdalifah, situs mabit jemaah haji sesudah wukuf di Arafah dan sebelum menuju Mina, memiliki sejarah panjang tak terpisahkan dari jejak Islam. Dikenal sebagai Tsabir di zaman pra-Islam, namanya diambil dari seorang tokoh suku Hudzail.
Muzdalifah adalah dataran yang berada di atas Gunung Tsabir, terletak di sebelah kiri jalur menuju Mina. Gunung Tsabir sendiri merupakan salah satu dari empat pegunungan yang menjulang tinggi di wilayah daratan Hijaz.
Fenomena unik terjadi di Muzdalifah, di mana matahari terbit dan terbenam tampak lebih awal dibandingkan di Arafah maupun Makkah. Adalah fenomena alam inilah yang membuat Nabi Muhammad SAW pada pelaksanaan haji Wadak memilih melakukan salat jamak takhir antara Maghrib dan Isya di lokasi ini.
Para musafir di masa pra-Islam kerap singgah di dataran Gunung Tsabir, kini dikenal sebagai Muzdalifah. Selain berlindung dari sengatan matahari siang hari, tempat ini juga menjadi lokasi peristirahatan untuk mengumpulkan tenaga setelah menyusuri padang pasir Arafah dan mendaki jalan menanjak menuju Gunung Tsabir.
Bermalam di Muzdalifah juga menjadi kebiasaan bagi para musafir yang ingin memasuki pal tanah haram di Gunung Tsabir di malam hari, agar tidak tersesat. Di masa lalu, rute jalan di Gunung Tsabir dikenal berkelok-kelok dan penuh tantangan, khususnya menjelang malam hari. Bukti akan kesulitan melintasi Gunung Tsabir dapat dilihat dari kisah peristiwa yang terjadi di lembah Muhassir. Lokasi ini pernah menjadi tempat tragedi kepunahan pasukan gajah Raja Abrahah yang terperangkap dan binasa diterpa burung Ababil.
Berdasarkan pengalaman tersebut, orang-orang Arab pra-Islam memilih bermalam di Muzdalifah saat hendak memasuki Gunung Tsabir di malam hari, agar perjalanan dilanjutkan saat matahari terbit.
Asal Usul Sebutan Muzdalifah
Sebutan Muzdalifah baru dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Secara etimologi, Muzdalifah berasal dari kata "zalifa" yang berarti "dekat". Penetapan sebutan ini dilandasi karena lokasi Muzdalifah yang berdekatan antara Arafah dan Mina, serta waktu matahari terbenam yang lebih cepat di lokasi ini.
Penamaan Muzdalifah juga terdapat dalam Al-Quran, yaitu dalam QS. Hud: 114, yang berbunyi "wa zulafan minal Lail". Sebutan lain yang dikenal pada Muzdalifah adalah "Jam'u" (Berkumpul). Berasal dari hadits riwayat Amar bin Mainin yang menyebutkan perjumpaan Nabi Muhammad SAW dengan Umar bin Khattab saat salat berjamaah di Jam'u.
Penyebutan "Jam'u" muncul karena pada saat haji Wadak, Rasulullah SAW melakukan salat Maghrib dan Isya' secara jamak di lokasi ini. Walaupun, kebiasaan ini tidak diteruskan oleh jemaah haji pada zaman Khalifah Utsman bin Affan.
Menurut riwayat, ada pula pendapat bahwa nama "Jam'u" berasal dari pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa di lokasi Muzdalifah. Namun, pendapat ini dibantah, karena mayoritas riwayat menyebutkan pertemuan mereka terjadi di Jabal Rahmah (Gunung Rahman) di Arafah.
Masyaril Haram: Gerbang menuju Tanah Haram
Selain dikenal sebagai Tsabir, Muzdalifah, dan Jam'u, Muzdalifah juga disebut "Masyaril Haram" dalam Al-Quran QS. Al-Baqarah: 198. Muzdalifah menjadi titik awal menuju perbatasan Tanah Haram, di mana jemaah haji dianjurkan untuk meningkatkan kedekatan dengan Allah SWT.
Dengan demikian, Muzdalifah memiliki banyak sebutan: beberapa berasal sejak zaman pra-Islam dan beberapa sejak kedatangan Islam.
Perjalanan Haji Tanpa Muzdalifah: Rethinking Sejarah?
Berkembangnya zaman melahirkan beragam pertanyaan, termasuk bagaimana perjalanan haji tanpa singgah di Muzdalifah? Setiap musim haji, jemaah sering menghadapi kesulitan saat berpindah dari Arafah ke Muzdalifah, sehingga memunculkan ide untuk mengantisipasi kesulitan ini.
Hal ini berbeda dengan zaman Nabi Muhammad SAW ketika beliau sengaja bermalam di Muzdalifah untuk menghindari kesulitan jika langsung menuju Mina. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW beramalkan dengan bermalam di Muzdalifah untuk menjaga keluarganya, yang merasa letih dan kelelahan setelah wukuf di Arafah.
Ditengah perkembangan masyarakat dan teknologi, jemaah haji modern yang diangkut dengan transportasi modern, cenderung lebih nyaman dirikan langsung ke Mina daripada singgah di Muzdalifah. Meskipun demikian, singgah di Muzdalifah justru menimbulkan masalah baru, baik saat berada di lapangan Muzdalifah maupun saat proses pengangkutan kembali menuju Mina.
Tanpa melupakan nilai tradisi dan sejarah, wacana tentang kemungkinan haji tanpa mentinggal di Muzdalifah merupakan topik yang memerlukan kajian dan diskusi lebih lanjut. Para ulama, stakeholder, dan pembuat kebijakan perlu memperhatikan dan mengkaji lebih dalam solusi terbaik untuk memudahkan dan menjamin kelancaran dan kenyamanan jemaah haji dalam menjalankan rukun Islam yang kelima.
Wallahu a'lam.