Bolehkah Ayah Tiri Jadi Wali Nikah?
Pernikahan adalah ikatan suci yang mengandung syarat dan rukun penting agar sah di mata syariat. Salah satu syarat krusialnya adalah keberadaan wali bagi mempelai perempuan. Tanpa wali yang sah, pernikahan tidak dapat dilangsungkan.
Dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang kita menemukan anak perempuan yang dibesarkan dan dirawat oleh ayah tiri. Beberapa ayah tiri mungkin merasa berhak menjadi wali nikah bagi anak sambungnya berdasarkan rasa sayang dan kasih sayang yang telah mereka berikan sejak kecil. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah ayah tiri boleh menjadi wali dalam pernikahan menurut Islam?
Siapakah Wali Nikah yang Diperbolehkan dalam Islam?
Syariat Islam telah menetapkan kriteria dan urutan prioritas wali yang berhak menikahkan perempuan. Umumnya, wali yang punya hak ini adalah mereka yang punya hubungan famili berdasarkan garis keturunan (nasab) dengan perempuan tersebut. Berdasarkan keterangan laman Kementerian Agama, Imam Abu Suja' dalam "Matan al-Ghayah wa Taqrîb" menjelaskan urutan wali yang paling utama sebagai berikut:
- Ayah
- Kakek (ayah dari ayah)
- Saudara laki-laki sekandung (seibu dan seayah)
- Saudara laki-laki seayah
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
- Paman dari pihak ayah
- Anak laki-laki dari paman pihak ayah
Jika tidak ada satupun dari wali 'ashabah (wali nasab) tersebut, maka yang berhak menjadi wali adalah seorang hakim. Dari urutan tersebut, jelas bahwa ayah tiri tidak termasuk dalam daftar prioritas wali nikah berdasarkan garis keturunan (nasab) dalam syariat Islam.
Apakah Ayah Tiri Dapat Menjadi Wali Nikah Melalui Wakalah (Tawkil)?
Meskipun ayah tiri tidak memiliki hak perwalian secara nasab, ada kemungkinan ia bisa jadi wali nikah melalui mekanisme wakalah atau tawkil. Ini artinya, wali asli perempuan yang sah secara syariat memberikan wewenangnya dalam perwalian pernikahan kepada ayah tiri.
Dalam kitab "al-Hawi al-Kabir" (juz IX, halaman 113), Abu Hasan Ali al-Mawardi menjelaskan syarat bagi orang yang boleh menerima wakalah perwalian:
"Mewakilkan perwalian tidak diperbolehkan kecuali oleh seseorang yang memenuhi persyaratan, yaitu: lelaki, baligh, merdeka, muslim, dan memiliki akal. Apabila semua syarat ini terpenuhi, maka mewakilkan perwalian tersebut dianggap sah."
Dengan demikian, apabila ayah tiri memenuhi syarat dan wali asli memberikan wakalah kepadanya melalui pernyataan serah terima yang sah menurut syariat Islam, maka ia berhak menerima mandat (tawkil) sebagai wali nikah.
Penting untuk diingat bahwa proses tawkil ini harus dilakukan secara jelas dan sah. Keberadaan wali asli yang memberikan wakalah harus benar-benar ada. Mekanisme wakalah ini juga berlaku untuk orang lain yang bukan wali asli, seperti ayah angkat, guru, atau siapa pun yang diberi kepercayaan.
Apa Jika Wali Asli Tidak Ada?
Jika semua wali asli yang berhak tidak bisa ditemukan-misalnya karena sudah meninggal, menghilang, atau alasan syar'i lainnya-maka hakim yang berhak menjadi wali. Apabila di suatu daerah tidak terdapat seorang hakim, maka perannya dapat digantikan oleh seorang muhakkam, yaitu individu yang ditunjuk untuk menjalankan tugas kehakiman dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam kitab "Fathul Mu'in" (halaman 472), Syekh Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari menjelaskan hal ini:
"Jika tidak ada wali yang dapat ditemukan dari mereka yang telah disebutkan sebelumnya, maka yang berwenang untuk melangsungkan pernikahan perempuan tersebut adalah seorang muhakkam yang adil dan merdeka."
Intinya, ayah tiri tidak bisa menjadi wali nikah secara langsung berdasarkan garis keturunan. Ia hanya bisa menjadi wali nikah kalau sudah mendapat tawkil (perwakilan) dari wali nikah asli yang sah menurut syariat Islam. Apabila wali asli tidak ada, hak perwalian akan beralih ke hakim atau muhakkam.
Penting bagi setiap Muslim untuk memahami ketentuan ini agar pernikahan yang dilangsungkan sah dan berkah di mata Allah SWT. Wallahu a'lam.