Sejarah Ringkas Munculnya Ilmu Mushthalah Hadits dan Perkembangannya
Dasar-dasar penting ilmu riwayat dan penyampaian berita telah ditemukan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Q.S. al-Hujurat [49]: 6, Allah memerintahkan agar berita dari orang fasik diteliti terlebih dahulu. Rasulullah saw juga mendorong agar hadits disampaikan sebagaimana didengar, karena bisa jadi penerima lebih memahami isinya daripada perawi awal (HR. Tirmidzi).
Ayat dan hadits tersebut menjadi prinsip dasar dalam menyeleksi dan menyampaikan berita. Para sahabat menetapkan ketentuan dalam menerima hadits, terutama jika ada keraguan terhadap kejujuran perawinya. Dari sinilah pentingnya isnad (rantai periwayatan) mulai diperhatikan, terlebih setelah munculnya fitnah. Ibnu Sirin menegaskan bahwa hadits hanya diterima dari ahli sunnah, dan ditolak dari ahli bid’ah.
Hal ini melahirkan ilmu jarh wa ta’dil, yang menilai kualitas perawi, serta cabang-cabang ilmu lain seperti mengenali sanad muttashil (bersambung) dan munqathi’ (terputus), serta mengetahui ‘illat (cacat tersembunyi). Pada awalnya, kajian ini disampaikan secara lisan, lalu mulai dibukukan secara parsial, seperti dalam ar-Risalah dan al-Umm karya Imam Syafi’i.
Baru pada abad ke-4 H ilmu ini mencapai bentuk sistematis dan berdiri sendiri dengan istilah mushthalah hadits. Kitab pertama yang khusus membahasnya adalah al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wa’i karya Qadli Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H). Sejak itu, banyak kitab klasik disusun untuk memperkuat disiplin ini hingga masa kini.